Saudaraku..
Setiap manusia yang merentasi
perjalanan hidup di dunia ini, pastilah suatu saat akan sampai pada
batas akhir kehidupannya. Ajal pasti datang menghampirinya. Kematian
ibarat tamu yang tidak pernah diundang. Ia datang tanpa mengenal waktu,
keadaan, kedudukan, profesi dan usia seseorang. Terkadang ia datang di
waktu malam, pagi, siang dan sore hari.
Bisa jadi ia datang menghampiri seseorang ketika popularitasnya sedang berada di puncak. Atau sebaliknya ajal menyapa saat ia terpuruk dan terjatuh. Ia juga dapat menyapa kita di kala sehat, sakit, bahagia dan merana.
Ajal merupakan persoalan ghaib bagi manusia. Terkadang seseorang yang begitu disanjung dan dipuja-puja serta digadang-gadang oleh manusia, ternyata akhir kehidupannya sangatlah tragis dan menyayat hati. Dan tidak sedikit orang secara kasat mata hidupnya sarat dengan kesederhanaan dan diselimuti kekurangan, tapi penghujung hidupnya sangatlah indah dan manis.
Akhir sebuah kehidupan merupakan penentu masa depan kita di akherat kelak. Husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik) adalah harapan dan cita-cita semua orang. Tetapi ia hanya merupakan khayalan dan impian belaka bila kita tidak pernah mengukir amal-amal keta’atan dalam hidup. Tidak membekali diri dengan iman dan mengenakan baju ketakwaan. Atau sandaran pada Sang Maha Pencipta teramat ringkih. Lemah dalam kepribadian dan tidak memiliki citra yang baik di tengah-tengah masyarakatnya.
Bila kita telusuri perjalanan hidup generasi pendahulu kita (salafus shalih), kita temukan bahwa hati mereka senantiasa dihiasai kemurnian tauhid, keta’atan yang sempurna terhadap Rasulnya, dan ukiran amal-amal shalih yang amat mengagumkan dan mempesona serta taburan amal dan bakti. Tetapi yang demikian itu tidak menjadikan mereka bangga diri, apatah lagi takabur dengan apa yang telah mereka perbuat. Bahkan hati mereka selalu dihantui perasaan takut yang tak terperi dan kekhawatiran yang mencekam, jika mereka tidak mampu menghadap Allah dalam keadaan husnul khatimah.
Sufyan Atsaury rahimahullah (ulama terkemuka dari kalangan tabi’in), di kala mengenang pedihnya siksa neraka, menyebabkan ia pernah terkencing darah dan nanah. Ia seorang yang zuhud terhadap dunia. Ketika ia berada di ambang kematian, ia meneteskan air mata menangis tersedu-sedu. Terbata-bata suaranya, dari lisannya terucap, “Aku khawatir di saat yang sangat menentukan masa depanku di akherat seperti ini, Allah mencabut keimanan dari hatiku.”
Begutu pula Malik Bin Dinar rahimahullah ketika melaksanakan shalat malam, ia tak sanggup membendung air matanya hingga membasahi jenggotnya yang lebat seraya berucap, “Duhai Rabb-ku, Engkau telah tetapkan para penghuni surga dan neraka, maka di manakah tempat tinggalku di akherat kelak?.”
Saudaraku…
Syekh Jalaludin As Suyuti rahimahullah dalam kitabnya “Syarhus shudur” pernah menyebutkan, ada 4 hal yang dapat menyebabkan seseorang meraih su’ul khatimah:
• Meremehkan pelaksanaan shalat.
• Menenggak minuman keras.
• Durhaka kepada kedua orang tua.
• Mengganggu kaum muslimin.
Saudaraku..
Shalat yang ditunaikan dengan baik mempunyai bekas positif yang memancar pada perilaku seseorang. Kwalitas shalat kita ukurannya adalah perbuatan dosa dan maksiat menyingkir dari kehidupan kita. Allah swt berfirman, “Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.” Al Ankabut: 45.
Dunia yang menjadi panggung sandiwara, pentas seni dan gedung theater sering membuat kita lupa dan mengabaikan tugas-tugas kita sebagai hamba-Nya. Nyanyian, begadang, sinetron, Indonesian Idol, film laga, suguhan lawak, acara-acara menarik di televisi lainnya, Nobar, gaple, catur dan yang senada dengan itu, sering melupakan kita dari zikir dan mengabaikan pelaksanaan shalat. Padahal kematian akan datang menyapa sesuai dengan kebiasaan yang kita lakukan.
Imam Dzahabi rahimahullah berkisah dalam kitabnya “al kabair”, ada seorang pemuda yang biasa menghabiskan waktu-waktu luangnya dengan catur. Ketika sakit keras ia ditalqin untuk mengucapkan laa ilaha illallah. Tapi yang keluar dari lisannya justru ucapan “Scak”. Ucapan itu bukan mematikan lawan main caturnya tetapi mematikan dirinya sendiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan, ada seorang pemuda yang suka nyanyian dan lagu-lagu yang diharamkan. Sehingga ia mendendangkannya atau mendengarkannya di sebagian besar waktunya. Saat ajal di ambang pintu, ia dibimbing mengucapkan kalimat tauhid, tapi yang diucapkannya justru nyanyian yang selama ini digandrunginya ‘nana nanana’.
Khamer disebut nabi saw sebagai “Ummul khabaits” induk atau biang keladi dari setiap keburukan atau kejahatan.
Khamer menjadi simbol semua minuman, tablet, obat membahayakan dan cairan yang memabukkan. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, khamer tampil dalam kemasan yang lebih menarik, merek yang memikat dan namanya pun semakin enak didengar. Seperti; ekstasi, ineks, shabu-shabu, putaw, ganja, heroin, morfin. Di masa kecil dulu, kita baru mengenal minuman keras semisal; anggur kuat cap orang tua, bir bintang, anggur kuat cap kunci, tuak dan yang senada dengan itu.
Apapun nama, merek dan kemasannya, semua yang dapat memabukkan dan menghilangkan kesadaran disebut khamer. Dan ia akan melahirkan berbagai macam kerusakan, dan mara bahaya. Baik bagi si pengguna maupun orang lain. Ia akan merusak tubuh manusia dan menghancurkan masa depannya di akherat.
Kecelakaan Xenia maut, pesawat jatuh, bus menabrak villa, tabrakan kereta api dan lain-lain, hanya merupakan contoh kecil dari bahaya mengkonsumsi khamer dan narkoba.
Ibnu Rajab rahimahullah pernah menukil dari syekh Abdul Azis bin Abu Ruwad bahwa ia pernah mentalqin seseorang pada saat sakaratul maut. Apa yang terjadi? Yang berhembus dari lidahnya justru sebuah ucapan, “Aku ingkar terhadap apa yang engkau ucapkan.” Walhasil, diketahui bahwa orang itu biasa mengkonsumsi khamer. Lantas syekh Abu Ruwad berkata, “Hindarilah dosa-dosa besar, sebab ia akan menghancurkan pelakunya.”
Sebab lain, kita terpuruk dalam su’ul khatimah adalah durhaka pada kedua orang tua.
Jika kita tadabburi ayat-ayat yang berbicara mengenai berbakti pada orang tua, maka kita dapati bahwa ukuran berbakti itu adalah “indal kibar” pada saat orang tua kita memasuki masa lansia; lanjut usia. Di saat keduanya sudah tak berdaya, pikun, lemah dan seterusnya yang memang sangat membutuhkan perawatan, perhatian, belaian kasih dan pertolongan dari kita selaku anaknya. Perkataan ‘ah’ atau ‘cih’ merupakan potret sebuah kedurhakaan. Apatah lagi anak yang membentak orang tuanya, memarahinya, menatapnya dengan kasar dan lebih dari itu.
Durhaka pada orang tua memiliki korelasi yang kuat dengan proses su’ul khatimah. Kisah sahabat Al Qamah yang masyhur, yang lebih mementingkan istri daripada ibunya sehingga memicu kemarahan sang ibu hanya merupakan contoh kecil dalam masalah ini.
Suatu ketika ada seorang lelaki yang menggendong ibunya thawaf mengelilingi Ka’bah. Dan sebelumnya ia telah menggendong ibunya itu dari Yaman. Jarak yang cukup jauh dengan Mekkah. Ia menghampiri sahabat Abdullah bin Umar seraya bertanya, “Wahai Ibnu Umar, apakah dengan jerih payahku ini aku telah membalas kebaikan atau jasa-jasanya?.” Ia menjawab, “Setengahnya juga belum. Tapi jerih payahmu yang sedikit ini akan mendapat pahala yang berlimpah ruah.”
Bagaimana dengan kita? Terkadang berjalan bergandengan tangan dengan ibu kita yang telah berusia lanjut, kita malu dilihat orang lain. Karena kita merasa bahwa kesuksesan dan kejayaan kita sama sekali tanpa ada peran dan andil darinya. Padahal ia bangun di tengah malam, hanya untuk mendo’akan kita, yang jauh di mata tapi selalu dekat di hatinya. Apakah kita akan sesukses seperti hari ini tanpa do’a tulus dari orang tua kita?.
Mengganggu kaum muslimin dan muslimat dengan hati, ucapan, perbuatan, tingkah laku dan gerak gerik kita akan berpengaruh pula pada su’ul khatimah.
Membiarkan hati digenangi hasut, dendam, berburuk sangka dan yang senada dengan itu merupakan warna gangguan kita terhadap mereka.
Melukai perasaan mereka dengan ucapan, dusta, persaksian palsu, curang dalam jual beli, fitnah, ghibah, amarah tak terbendung dan lain sebagainya merupakan corak dari gangguan kita terhadap mereka yang dapat mengusik kedamaian hati mereka.
Berlaku aniaya, tak adil dalam mengambil keputusan, merendahkan mereka, mengganggu istirahat mereka dan lain sebagainya merupakan bentuk gangguan kita berupa perbuatan dan perilaku. “Tidak akan masuk surga orang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” HR. Muslim.
Merasa teraniaya, terzalimi, tersakiti dan terluka hatinya bisa mendorong seseorang mendo’akan celaka bagi pelakunya. Do’a yang buruk menjelma dalam laknat dan kutukan serta meraih su’ul khatimah. Na’udzbillah mindzalik.
Untuk itu Nabi saw mewanti-wanti kita agar jangan sampai menzalimi orang lain. Karena do’a orang yang terzalimi didengar Allah swt.
Ya Rabb, anugerahkanlah kepada kami husnul khatimah; akhir kehidupan yang baik dan indah. Amien..
sumber khazanah 7
0 komentar:
Posting Komentar