Sambungan dari:
"Jodoh Gus Dien (Part I)"
by: The May
...sebongkah
tembok runtuh menjatuhi sebuah bangku kecil di sudut dekat pintu
mushola. Terlihat seekor cicak terhimpit di antara tindihan batu bata
yang remuk menjadi beberapa bagian.
"Yah, bangunan mushola ini memang
sudah rapuh parah," tutur Mbah Kuri yang segera bangkit membersihkan
area 'gempa dinding' itu. Sementara Gus Dien yang masih penasaran soal
siluman cicak hitam itu, sambil membantu dia menagih kelanjutan cerita
Mbah Kuri, "Lalu, cicak itu sejenis makhluk apa mbah?" tanya Gus Dien,
penasaran. "Siluman Cicak Hitam itu adalah julukan seorang preman di
kampung ini. Nama aslinya Amir. Tiap malam dia berkeliaran di sekeliling
kampung membuat resah warga sekitar," cerita Mbah Kuri sambil duduk
kembali setelah membuang bongkahan tembok yang tadi menghantam bangku
sampe remuk itu. "Ooh.. Saya kira bukan manusia. Wkwkwkwk..," sambut Gus
Dien diiringi seringai tawa kecil. "Ya sudah, mari kita shalat dulu,"
ajak Mbah Kuri.
Selama tiga hari Gus Dien menginap di mushola
itu. Sampai suatu ketika, dia keluar dari mushola untuk ke warung
sebelah, tempat biasa ia makan. Ketika itu, Gus Dien sedang menunggu
pesanan makanannya datang, lalu seorang pria bertubuh kekar berkulit
hitam dengan slayer melingkar di atas kepalanya. "Orang baru lu?" tanya
lelaki itu yang belakangan diketahui bernama Amir Siluman Cicak Hitam.
"Iya bang, mari makan?" jawab Gus Dien seraya basa-basi menawarkan makan
pada Amir.
Tanpa ba-bi-bu, Amir langsung saja menodongkan belati di
pinggang Gus Dien seraya mengancam, "Bagi duit jajan!" bisiknya pada Gus
Dien.
Gus Dien yang sisa uangnya tinggal 5 ribu rupiah (itupun untuk
bayar makan kali ini) menjawab, "Sudah habis bang, tinggal 5 ribu buat
bayar," kata Gus Dien, memelas. Tapi Amir rupanya tak mau tau, langsung
saja dia merogoh seluruh pakaiannya dan benar saja, di dompetnya cuma
ada KTP dan uang 5 ribu.
"Emm, kamu orang jauh dari sini. Tapi nggak
punya uang cukup. Gimana pulangnya nanti?" tanya Amir, sambil melihat
KTP Gus Dien, sedikit bijak.
Setelah ngobrol beberapa saat, akhirnya
Gus Dien pun sepakat untuk ikut Bang Amir bekerja sebagai penjaga pasar
di desa Limbangsari.
"Terima kasih bang, hanya pekerjaan ini yang
bisa buat saya bertahan hidup," tutur Gus Dien setelah sampai di sebuah
kios kosong di sudut pasar yang ternyata tempat mangkirnya gembel-gembel
pasar situ.
Kebetulan di situ sedang ada Mat Dogler, seorang pria
berambut panjang berjenggot kepang yang sedang mengelap-elap flag senar
gitarnya. Gus Dien pun diperkenalkan dengan pengamen yang sedang
menenggak 'jamu iblis' itu.
Awalnya memang risih. Seorang putra
terpelajar seperti Gus Dien harus berkenalan dengan sampah-sampah macam
mereka. Tapi Gus Dien mencoba rileks dan mereka pun menganggap Gus Dien
biasa saja seperti teman-teman mereka yang lain.
"Cobain..." kata Mat
Dogler sambir menyodorkan gitarnya pada Gus Dien. "Saya kurang bisa
maen gitar," jawab Gus Dien sambil menarik rokok dari bungkusnya yang
ditawarkan Mat Dogler. "Makanya pegang, biar bisa.. Nggak mau saya
ajarin?" kata Mat Dogler lagi. Gus Dien pun lalu menempatkan gitar itu
di atas pahanya dan mulai menggenjreng, tapi fals dan tanpa chord yang
jelas.
Terbesit dalam fikiran Gus Dien, "benarkah yang sedang aku pegang ini gitar?" dia membatin.
Gitar
memang sebuah permainan musik yang dilarang agama. Bagi seorang putra
Kyai seperti Gus Dien ini, gitar tampak begitu seram dan berbau neraka.
Tapi
memang sebenarnya, Gus Dien sendiri masih bertanya-tanya soal hukum
memainkan gitar ini. Kenyataannya, dia pernah membaca suatu kitab yang
berisi penjelasan tentang penemu senar gitar. Ya, Al Farabi, seorang
ulama ahli tasawuf yang juga pakar di bidang ilmu filsafat. Hingga
terbenak dalam batin Gus Dien, "Pentolan tasawuf saja menjadi penemu
senar gitar, kenapa menggunakannya tidak boleh?" batin Gus Dien, kritis.
Gus
Dien mempelajari chord gitar dari Mat Dogler mulai A mayor, A minor,
sampai G. Semuanya masih kunci dasar permainan gitar. Sambil
menekan-nekankan jemari kirinya di senar, otaknya terus berkonsentrasi
diiringi lilitan bimbang di rahim sanubarinya.
Ia pun teringat kisah
Sunan Kalijaga yang juga memainkan sejenis alat musik gamelan. Hingga
akhirnya Gus Dien makin mantap saja memainkan gitar di tangannya itu.
Yah,
mungkin karena berteman dengan seorang pengamen, Gus Dien pun
mencari-cari alasan untuk menghalalkan permainan gitar. Dia tidak sadar
bahwa Al Farabi ataupun Sunan Kalijaga memainkan alat musik karena
alasan lain. Yaitu,...
*bersambung ke Part III.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar