Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, Maka shalatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah hewan.” (QS. Al Kautsar: 2). Syaikh Abdullah Alu Bassaam mengatakan, “Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan; Yang dimaksud dengan menyembelih hewan adalah menyembelih hewan qurban setelah shalat Ied.” Pendapat ini dinukilkan dari Qatadah, Atha’ dan Ikrimah (Taisirul ‘Allaam, 534 Taudhihul Ahkaam, IV/450. Lihat juga Shahih Fiqih Sunnah II/366). Dalam istilah ilmu fiqih hewan qurban biasa disebut dengan nama Al Udh-hiyah yang bentuk jamaknya Al Adhaahi (dengan huruf ha’ tipis)
Pengertian Udh-hiyah
Udh-hiyah adalah hewan ternak yang
disembelih pada hari Iedul Adha dan hari Tasyriq dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah karena datangnya hari raya tersebut (lihat
Al Wajiz, 405 dan Shahih Fiqih Sunnah II/366)
Keutamaan Qurban
Menyembelih qurban termasuk amal salih
yang paling utama. Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha menceritakan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah anak Adam
melakukan suatu amalan pada hari Nahr (Iedul Adha) yang lebih dicintai
oleh Allah melebihi mengalirkan darah (qurban), maka hendaknya kalian
merasa senang karenanya.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al Hakim dengan
sanad sahih, lihat Taudhihul Ahkam, IV/450)
Hadis di atas didhaifkan oleh Syaikh Al
Albani (dhaif Ibn Majah, 671). Namun kegoncangan hadis di atas tidaklah
menyebabkan hilangnya keutamaan berqurban. Banyak ulama menjelaskan
bahwa menyembelih hewan qurban pada hari idul Adlha lebih utama dari
pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah
yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting
dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah. Disamping itu,
menyembelih qurban lebih menampakkan syi’ar islam dan lebih sesuai
dengan sunnah. (lih. Shahih Fiqh Sunnah 2/379 & Syarhul Mumthi’
7/521)
Hukum Qurban
Dalam hal ini para ulama terbagi dalam dua pendapat :
Pertama, wajib bagi
orang yang berkelapangan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Rabi’ah
(guru Imam Malik), Al Auza’i, Abu Hanifah, Imam Ahmad dalam salah satu
pendapatnya, Laits bin Sa’ad serta sebagian ulama pengikut Imam Malik,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Pendapat yang menyatakan wajib itu
tampak lebih kuat dari pada pendapat yang menyatakan tidak wajib. Akan
tetapi hal itu hanya diwajibkan bagi yang mampu…” (lih. Syarhul Mumti’,
III/408) Diantara dalilnya adalah hadits Abu Hurairah yang menyatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan
sekali-kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ibnu Majah 3123, Al
Hakim 7672 dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat kedua
menyatakan Sunnah Mu’akkadah (ditekankan). Dan ini adalah pendapat
mayoritas ulama yaitu Malik, Syafi’i, Ahmad, Ibnu Hazm dan lain-lain.
Ulama yang mengambil pendapat ini berdalil dengan riwayat dari Abu
Mas’ud Al Anshari radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya
aku sedang tidak akan berqurban. Padahal aku adalah orang yang
berkelapangan. Itu kulakukan karena aku khawatir kalau-kalau tetanggaku
mengira qurban itu adalah wajib bagiku.” (HR. Abdur Razzaq dan Baihaqi
dengan sanad shahih). Demikian pula dikatakan oleh Abu Sarihah, “Aku
melihat Abu Bakar dan Umar sementara mereka berdua tidak berqurban.”
(HR. Abdur Razzaaq dan Baihaqi, sanadnya shahih) Ibnu Hazm berkata,
“Tidak ada riwayat sahih dari seorang sahabatpun yang menyatakan bahwa
qurban itu wajib.” (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/367-368, Taudhihul
Ahkaam, IV/454)
Dalil-dalil di atas merupakan dalil
pokok yang digunakan masing-masing pendapat. Jika dijabarkan semuanya
menunjukkan masing-masing pendapat sama kuat. Sebagian ulama memberikan
jalan keluar dari perselisihan dengan menasehatkan: “…selayaknya bagi
mereka yang mampu, tidak meninggalkan berqurban. Karena dengan berqurban
akan lebih menenangkan hati dan melepaskan tanggungan, wallahu a’lam.”
(Tafsir Adwa’ul Bayan, 1120)
Yakinlah…! bagi mereka yang berqurban,
Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan.
Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat, yang satu berdo’a: “Yaa
Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfaq.” Dan yang kedua
berdo’a: “Yaa Allah, berikanlah kehancuran bagi orang yang menahan
hartanya (pelit).” (HR. Al Bukhari 1374 & Muslim 1010).
Hewan yang Boleh Digunakan Untuk Qurban
Hewan qurban hanya boleh dari kalangan
Bahiimatul Al An’aam (hewan ternak tertentu) yaitu onta, sapi atau
kambing dan tidak boleh selain itu. Bahkan sekelompok ulama menukilkan
adanya ijma’ (kesepakatan) bahwasanya qurban tidak sah kecuali dengan
hewan-hewan tersebut (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/369 dan Al Wajiz
406) Dalilnya adalah firman Allah yang artinya, “Dan bagi setiap umat
Kami berikan tuntunan berqurban agar kalian mengingat nama Allah atas
rezki yang dilimpahkan kepada kalian berupa hewan-hewan ternak
(bahiimatul an’aam).” (QS. Al Hajj: 34) Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
mengatakan, “Bahkan jika seandainya ada orang yang berqurban dengan
jenis hewan lain yang lebih mahal dari pada jenis ternak tersebut maka
qurbannya tidak sah. Andaikan dia lebih memilih untuk berqurban seekor
kuda seharga 10.000 real sedangkan seekor kambing harganya hanya 300
real maka qurbannya (dengan kuda) itu tidak sah…” (Syarhul Mumti’,
III/409)
Seekor Kambing Untuk Satu Keluarga
Seekor kambing cukup untuk qurban satu
keluarga, dan pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga meskipun
jumlahnya banyak atau bahkan yang sudah meninggal dunia. Sebagaimana
hadits Abu Ayyub radhiyallahu’anhu yang mengatakan, “Pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seseorang (suami) menyembelih
seekor kambing sebagai qurban bagi dirinya dan keluarganya.” (HR.
Tirmidzi dan beliau menilainya shahih, lihat Minhaajul Muslim, 264 dan
266).
Oleh karena itu, tidak selayaknya
seseorang mengkhususkan qurban untuk salah satu anggota keluarganya
tertentu, misalnya kambing 1 untuk anak si A, kambing 2 untuk anak si B,
karunia dan kemurahan Allah sangat luas maka tidak perlu dibatasi.
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berqurban untuk seluruh dirinya dan seluruh umatnya. Suatu ketika
beliau hendak menyembelih kambing qurban. Sebelum menyembelih beliau
mengatakan:”Yaa Allah ini – qurban – dariku dan dari umatku yang tidak
berqurban.” (HR. Abu Daud 2810 & Al Hakim 4/229 dan dishahihkan
Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 4/349). Berdasarkan hadis ini, Syaikh
Ali bin Hasan Al Halaby mengatakan: “Kaum muslimin yang tidak mampu
berqurban, mendapatkan pahala sebagaimana orang berqurban dari umat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Adapun yang dimaksud: “…kambing hanya
boleh untuk satu orang, sapi untuk tujuh orang, dan onta 10 orang…”
adalah biaya pengadaannya. Biaya pengadaan kambing hanya boleh dari satu
orang, biaya pengadaan sapi hanya boleh dari maksimal tujuh orang dst.
Namun seandainya ada orang yang hendak
membantu shohibul qurban yang kekurangan biaya untuk membeli hewan, maka
diperbolehkan dan tidak mempengaruhi status qurbannya. Dan status
bantuan di sini adalah hadiah bagi shohibul qurban. Apakah harus izin
terlebih dahulu kepada pemilik hewan?
Jawab: Tidak harus, karena dalam transaksi hadiah tidak dipersyaratkan memberitahukan kepada orang yang diberi sedekah.
Ketentuan Untuk Sapi & Onta
Seekor Sapi dijadikan qurban untuk 7
orang. Sedangkan seekor onta untuk 10 orang. Dari Ibnu Abbas
radhiyallahu’anhu beliau mengatakan, “Dahulu kami penah bersafar bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tibalah hari raya Iedul
Adha maka kami pun berserikat sepuluh orang untuk qurban seekor onta.
Sedangkan untuk seekor sapi kami berserikat sebanyak tujuh orang.”
(Shahih Sunan Ibnu Majah 2536, Al Wajiz, hal. 406)
Dalam masalah pahala, ketentuan qurban
sapi sama dengan ketentuan qurban kambing. Artinya urunan 7 orang untuk
qurban seekor sapi, pahalanya mencakup seluruh anggota keluarga dari 7
orang yang ikut urunan.
Arisan Qurban Kambing ?
Mengadakan arisan dalam rangka berqurban
masuk dalam pembahasan berhutang untuk qurban. Karena hakekat arisan
adalah hutang. Sebagian ulama menganjurkan untuk berqurban meskipun
harus hutang. Di antaranya adalah Imam Abu Hatim sebagaimana dinukil
oleh Ibn Katsir dari Sufyan At Tsauri (Tafsir Ibn Katsir, surat Al
Hajj:36)(*) Demikian pula Imam Ahmad dalam masalah aqiqah. Beliau
menyarankan agar orang yang tidak memiliki biaya aqiqah agar berhutang
dalam rangka menghidupkan sunnah aqiqah di hari ketujuh setelah
kelahiran.
(*) Sufyan At Tsauri rahimahullah
mengatakan: Dulu Abu Hatim pernah berhutang untuk membeli unta qurban.
Beliau ditanya: “Kamu berhutang untuk beli unta qurban?” beliau jawab:
“Saya mendengar Allah berfirman: لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ (kamu
memperoleh kebaikan yang banyak pada unta-unta qurban tersebut) (QS: Al
Hajj:36).” (lih. Tafsir Ibn Katsir, surat Al Hajj: 36).
Sebagian ulama lain menyarankan untuk
mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban. Di antaranya adalah
Syaikh Ibn Utsaimin dan ulama tim fatwa islamweb.net di bawah pengawasan
Dr. Abdullah Al Faqih (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah no. 7198 &
28826). Syaikh Ibn Utsaimin mengatakan: “Jika orang punya hutang maka
selayaknya mendahulukan pelunasan hutang dari pada berqurban.” (Syarhul
Mumti’ 7/455). Bahkan Beliau pernah ditanya tentang hukum orang yang
tidak jadi qurban karena uangnya diserahkan kepada temannya yang sedang
terlilit hutang, dan beliau jawab: “Jika di hadapkan dua permasalahan
antara berqurban atau melunaskan hutang orang faqir maka lebih utama
melunasi hutang, lebih-lebih jika orang yang sedang terlilit hutang
tersebut adalah kerabat dekat.” (lih. Majmu’ Fatawa & Risalah Ibn
Utsaimin 18/144).
Namun pernyataan-pernyataan ulama di
atas tidaklah saling bertentangan. Karena perbedaan ini didasari oleh
perbedaan dalam memandang keadaan orang yang berhutang. Sikap ulama yang
menyarankan untuk berhutang ketika qurban dipahami untuk kasus orang
yang keadaanya mudah dalam melunasi hutang atau kasus hutang yang jatuh
temponya masih panjang. Sedangkan anjuran sebagian ulama untuk
mendahulukan pelunasan hutang dari pada qurban dipahami untuk kasus
orang yang kesulitan melunasi hutang atau hutang yang menuntut segera
dilunasi. Dengan demikian, jika arisan qurban kita golongkan sebagai
hutang yang jatuh temponya panjang atau hutang yang mudah dilunasi maka
berqurban dengan arisan adalah satu hal yang baik. Wallahu a’lam.
Qurban Kerbau ?
Para ulama’ menyamakan kerbau dengan
sapi dalam berbagai hukum dan keduanya disikapi sebagai satu jenis
(Mausu’ah Fiqhiyah Quwaithiyah 2/2975). Ada beberapa ulama yang secara
tegas membolehkan berqurban dengan kerbau, dari kalangan Syafi’iyah
(lih. Hasyiyah Al Bajirami) maupun dari Hanafiyah (lih. Al ‘Inayah Syarh
Hidayah 14/192 dan Fathul Qodir 22/106). Mereka menganggap keduanya
satu jenis.
Syaikh Ibn Al Utasimin pernah ditanya tentang hukum qurban dengan kerbau.
Pertanyaan :
“Kerbau dan sapi memiliki perbedaan
dalam banyak sifat sebagaimana kambing dengan domba. Namun Allah telah
merinci penyebutan kambing dengan domba tetapi tidak merinci penyebutan
kerbau dengan sapi, sebagaimana disebutkan dalam surat Al An’am 143.
Apakah boleh berqurban dengan kerbau?”
Beliau menjawab :
“Jika hakekat kerbau termasuk sapi maka
kerbau sebagaimana sapi namun jika tidak maka (jenis hewan) yang Allah
sebut dalam alqur’an adalah jenis hewan yang dikenal orang arab,
sedangkan kerbau tidak termasuk hewan yang dikenal orang arab.” (Liqa’
Babil Maftuh 200/27)
Jika pernyataan Syaikh Ibn Utsaimin kita
bawa pada penjelasan ulama di atas maka bisa disimpulkan bahwa qurban
kerbau hukumnya sah, karena kerbau sejenis dengan sapi. Wallahu a’lam.
Urunan Qurban Satu Sekolahan
Terdapat satu tradisi di lembaga
pendidikan di daerah kita, ketika iedul adha tiba sebagian sekolahan
menggalakkan kegiatan latihan qurban bagi siswa. Masing-masing siswa
dibebani iuran sejumlah uang tertentu. Hasilnya digunakan untuk membeli
kambing dan disembelih di hari-hari qurban. Apakah ini bisa dinilai
sebagai ibadah qurban?
Perlu dipahami bahwa qurban adalah salah
satu ibadah dalam islam yang memiliki aturan tertentu sebagaimana yang
digariskan oleh syari’at. Keluar dari aturan ini maka tidak bisa dinilai
sebagai ibadah qurban alias qurbannya tidak sah. Di antara aturan
tersebut adalah masalah pembiayaan. Sebagaimana dipahami di muka, biaya
pengadaan untuk seekor kambing hanya boleh diambilkan dari satu orang.
Oleh karena itu kasus tradisi ‘qurban’ seperti di atas tidak dapat
dinilai sebagai qurban.
Berqurban Atas Nama Orang yang Sudah Meninggal ?
Berqurban untuk orang yang telah meninggal dunia dapat dirinci menjadi tiga bentuk:
- Orang yang meninggal bukan sebagai sasaran qurban utama namun statusnya mengikuti qurban keluarganya yang masih hidup. Misalnya seseorang berqurban untuk dirinya dan keluarganya sementara ada di antara keluarganya yang telah meninggal. Berqurban jenis ini dibolehkan dan pahala qurbannya meliputi dirinya dan keluarganya meskipun ada yang sudah meninggal.
- Berqurban khusus untuk orang yang telah meninggal tanpa ada wasiat dari mayit. Sebagian ulama madzhab hambali menganggap ini sebagai satu hal yang baik dan pahalanya bisa sampai kepada mayit, sebagaimana sedekah atas nama mayit (lih. Fatwa Majlis Ulama Saudi no. 1474 & 1765). Namun sebagian ulama’ bersikap keras dan menilai perbuatan ini sebagai satu bentuk bid’ah, mengingat tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada riwayat bahwasanya beliau berqurban atas nama Khadijah, Hamzah, atau kerabat beliau lainnya yang mendahului beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
- Berqurban khusus untuk orang yang meninggal karena mayit pernah mewasiatkan agar keluarganya berqurban untuknya jika dia meninggal. Berqurban untuk mayit untuk kasus ini diperbolehkan jika dalam rangka menunaikan wasiat si mayit. (Dinukil dari catatan kaki Syarhul Mumti’ yang diambil dari Risalah Udl-hiyah Syaikh Ibn Utsaimin 51).
Umur Hewan Qurban
Untuk onta dan sapi: Jabir meriwayatkan
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, “Janganlah kalian
menyembelih (qurban) kecuali musinnah. Kecuali apabila itu menyulitkan
bagi kalian maka kalian boleh menyembelihdomba jadza’ah.” (Muttafaq
‘alaih)
Musinnah adalah hewan ternak yang sudah dewasa, dengan rincian:
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/371-372, Syarhul Mumti’, III/410, Taudhihul Ahkaam, IV/461)
Cacat Hewan Qurban
Cacat hewan qurban dibagi menjadi 3:
- Cacat yang menyebabkan tidak sah untuk berqurban, ada 4 (**):
- Buta sebelah dan jelas sekali kebutaannya: Jika butanya belum jelas – orang yang melihatnya menilai belum buta – meskipun pada hakekatnya kambing tersebut satu matanya tidak berfungsi maka boleh diqurbankan. Demikian pula hewan yang rabun senja. ulama’ madzhab syafi’iyah menegaskan hewan yang rabun boleh digunakan untuk qurban karena bukan termasuk hewan yang buta sebelah matanya.
- Sakit dan tampak sekali sakitnya.
- Pincang dan tampak jelas pincangnya: Artinya pincang dan tidak bisa berjalan normal. Akan tetapi jika baru kelihatan pincang namun bisa berjalan dengan baik maka boleh dijadikan hewan qurban.
- Sangat tua sampai-sampai tidak punya sumsum tulang.
Dan jika ada hewan yang cacatnya lebih
parah dari 4 jenis cacat di atas maka lebih tidak boleh untuk digunakan
berqurban. (lih. Shahih Fiqih Sunnah, II/373 & Syarhul Mumti’
3/294).
- Cacat yang menyebabkan makruh untuk berqurban, ada 2 (***):
- Sebagian atau keseluruhan telinganya terpotong
- Tanduknya pecah atau patah (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
- Cacat yang tidak berpengaruh pada hewan qurban (boleh dijadikan untuk qurban) namun kurang sempurna.
Selain 6 jenis cacat di atas atau cacat
yang tidak lebih parah dari itu maka tidak berpengaruh pada status hewan
qurban. Misalnya tidak bergigi (ompong), tidak berekor, bunting, atau
tidak berhidung. Wallahu a’lam
(lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/373)
(**) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
ditanya tentang cacat hewan apa yang harus dihindari ketika berqurban.
Beliau menjawab: “Ada empat cacat… dan beliau berisyarat dengan
tangannya.” (HR. Ahmad 4/300 & Abu Daud 2802, dinyatakan
Hasan-Shahih oleh Turmudzi). Sebagian ulama menjelaskan bahwa isyarat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangannya ketika menyebutkan
empat cacat tersebut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membatasi jenis cacat yang terlarang. Sehingga yang bukan
termasuk empat jenis cacat sebagaimana dalam hadis boleh digunakan
sebagai qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/464)
(***) Terdapat hadis yang menyatakan
larangan berqurban dengan hewan yang memilki dua cacat, telinga
terpotong atau tanduk pecah. Namun hadisnya dlo’if, sehingga sebagian
ulama menggolongkan cacat jenis kedua ini hanya menyebabkan makruh
dipakai untuk qurban. (Syarhul Mumthi’ 7/470)
Hewan yang Disukai dan Lebih Utama untuk Diqurbankan
Hendaknya hewan yang diqurbankan adalah
hewan yang gemuk dan sempurna. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala yang
artinya, “…barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka
sesungguhnya itu adalah berasal dari ketakwaan hati.” (QS. Al Hajj: 32).
Berdasarkan ayat ini Imam Syafi’i rahimahullah menyatakan bahwa orang
yang berqurban disunnahkan untuk memilih hewan qurban yang besar dan
gemuk. Abu Umamah bin Sahl mengatakan, “Dahulu kami di Madinah biasa
memilih hewan yang gemuk dalam berqurban. Dan memang kebiasaan kaum
muslimin ketika itu adalah berqurban dengan hewan yang gemuk-gemuk.”
(HR. Bukhari secara mu’allaq namun secara tegas dan dimaushulkan oleh
Abu Nu’aim dalam Al Mustakhraj, sanadnya hasan)
Diantara ketiga jenis hewan qurban maka
menurut mayoritas ulama yang paling utama adalah berqurban dengan onta,
kemudian sapi kemudian kambing, jika biaya pengadaan masing-masing
ditanggung satu orang (bukan urunan). Dalilnya adalah jawaban Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh Abu Dzar radhiallahu
‘anhu tentang budak yang lebih utama. Beliau bersabda, “Yaitu budak yang
lebih mahal dan lebih bernilai dalam pandangan pemiliknya” (HR. Bukhari
dan Muslim). (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/374)
Manakah yang Lebih Baik, Ikut Urunan Sapi atau Qurban Satu Kambing ?
Sebagian ulama menjelaskan qurban satu
kambing lebih baik dari pada ikut urunan sapi atau onta, karena tujuh
kambing manfaatnya lebih banyak dari pada seekor sapi (lih. Shahih Fiqh
Sunnah, 2/375, Fatwa Lajnah Daimah no. 1149 & Syarhul Mumthi’
7/458). Disamping itu, terdapat alasan lain diantaranya:
- Qurban yang sering dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utuh satu ekor, baik kambing, sapi, maupun onta, bukan 1/7 sapi atau 1/10 onta.
- Kegiatan menyembelihnya lebih banyak. Lebih-lebih jika hadis yang menyebutkan keutamaan qurban di atas statusnya shahih. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh penulis kitab Al Muhadzab Al Fairuz Abadzi As Syafi’i. (lih. Al Muhadzab 1/74)
- Terdapat sebagian ulama yang melarang urunan dalam berqurban, diantaranya adalah Mufti Negri Saudi Syaikh Muhammad bin Ibrahim (lih. Fatwa Lajnah 11/453). Namun pelarangan ini didasari dengan qiyas (analogi) yang bertolak belakang dengan dalil sunnah, sehingga jelas salahnya.
Apakah Harus Jantan ?
Tidak ada ketentuan jenis kelamin hewan
qurban. Boleh jantan maupun betina. Dari Umu Kurzin radliallahu ‘anha,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aqiqah untuk anal
laki-laki dua kambing dan anak perempuan satu kambing. Tidak jadi
masalah jantan maupun betina.” (HR. Ahmad 27900 & An Nasa’i 4218 dan
dishahihkan Syaikh Al Albani). Berdasarkan hadis ini, Al Fairuz Abadzi
As Syafi’i mengatakan: “Jika dibolehkan menggunakan hewan betina ketika
aqiqah berdasarkan hadis ini, menunjukkan bahwa hal ini juga boleh untuk
berqurban.” (Al Muhadzab 1/74)
Namun umumnya hewan jantan itu lebih
baik dan lebih mahal dibandingkan hewan betina. Oleh karena itu, tidak
harus hewan jantan namun diutamakan jantan.
Larangan Bagi yang Hendak Berqurban
Orang yang hendak berqurban dilarang
memotong kuku dan memotong rambutnya (yaitu orang yang hendak qurban
bukan hewan qurbannya). Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam beliau bersabda, “Apabila engkau telah memasuki sepuluh hari
pertama (bulan Dzulhijjah) sedangkan diantara kalian ingin berqurban
maka janganlah dia menyentuh sedikitpun bagian dari rambut dan
kulitnya.” (HR. Muslim). Larangan tersebut berlaku untuk cara apapun dan
untuk bagian manapun, mencakup larangan mencukur gundul atau sebagian
saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala,
kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/376).
Apakah larangan ini hanya berlaku untuk kepala keluarga ataukah berlaku juga untuk anggota keluarga shohibul qurban?
Jawab: Larangan ini hanya berlaku untuk
kepala keluarga (shohibul qurban) dan tidak berlaku bagi anggota
keluarganya. Karena 2 alasan:
- Dlahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang mau berqurban.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berqurban untuk dirinya dan keluarganya. Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya beliau menyuruh anggota keluarganya untuk tidak memotong kuku maupun rambutnya. (Syarhul Mumti’ 7/529)
Waktu Penyembelihan
Waktu penyembelihan qurban adalah pada
hari Iedul Adha dan 3 hari sesudahnya (hari tasyriq). Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap hari taysriq adalah
(hari) untuk menyembelih (qurban).” (HR. Ahmad dan Baihaqi) Tidak ada
perbedaan waktu siang ataupun malam. Baik siang maupun malam sama-sama
dibolehkan. Namun menurut Syaikh Al Utsaimin, melakukan penyembelihan di
waktu siang itu lebih baik. (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 33).
Para ulama sepakat bahwa penyembelihan qurban tidak boleh dilakukan
sebelum terbitnya fajar di hari Iedul Adha. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang menyembelih sebelum shalat Ied maka
sesungguhnya dia menyembelih untuk dirinya sendiri (bukan qurban). Dan
barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat itu maka qurbannya sempurna
dan dia telah menepati sunnahnya kaum muslimin.” (HR. Bukhari dan
Muslim) (lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/377)
Tempat Penyembelihan
Tempat yang disunnahkan untuk
menyembelih adalah tanah lapangan tempat shalat ‘ied diselenggarakan.
Terutama bagi imam/penguasa/tokoh masyarakat, dianjurkan untuk
menyembelih qurbannya di lapangan dalam rangka memberitahukan kepada
kaum muslimin bahwa qurban sudah boleh dilakukan dan mengajari tata cara
qurban yang baik. Ibnu ‘Umar mengatakan, “Dahulu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa menyembelih kambing dan onta (qurban) di
lapangan tempat shalat.” (HR. Bukhari 5552).
Dan dibolehkan untuk menyembelih qurban
di tempat manapun yang disukai, baik di rumah sendiri ataupun di tempat
lain. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, II/378)
Penyembelih Qurban
Disunnahkan bagi shohibul qurban untuk
menyembelih hewan qurbannya sendiri namun boleh diwakilkan kepada orang
lain. Syaikh Ali bin Hasan mengatakan: “Saya tidak mengetahui adanya
perbedaan pendapat di kalangan ulama’ dalam masalah ini.” Hal ini
berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu di dalam Shahih
Muslim yang menceritakan bahwa pada saat qurban Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah menyembelih beberapa onta qurbannya dengan
tangan beliau sendiri kemudian sisanya diserahkan kepada Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu untuk disembelih. (lih. Ahkaamul Idain, 32)
Tata Cara Penyembelihan
- Sebaiknya pemilik qurban menyembelih hewan qurbannya sendiri.
- Apabila pemilik qurban tidak bisa menyembelih sendiri maka sebaiknya dia ikut datang menyaksikan penyembelihannya.
- Hendaknya memakai alat yang tajam untuk menyembelih.
- Hewan yang disembelih dibaringkan di atas lambung kirinya dan dihadapkan ke kiblat. Kemudian pisau ditekan kuat-kuat supaya cepat putus.
- Ketika akan menyembelih disyari’akan membaca “Bismillaahi wallaahu akbar” ketika menyembelih. Untuk bacaan bismillah (tidak perlu ditambahi Ar Rahman dan Ar Rahiim) hukumnya wajib menurut Imam Abu Hanifah, Malik dan Ahmad, sedangkan menurut Imam Syafi’i hukumnya sunnah. Adapun bacaan takbir – Allahu akbar – para ulama sepakat kalau hukum membaca takbir ketika menyembelih ini adalah sunnah dan bukan wajib. Kemudian diikuti bacaan:
- hadza minka wa laka.” (HR. Abu Dawud 2795) Atau
- hadza minka wa laka ‘anni atau ‘an fulan (disebutkan nama shahibul qurban).” atau
- Berdoa agar Allah menerima qurbannya dengan doa, “Allahumma taqabbal minni atau min fulan (disebutkan nama shahibul qurban)” (lih. Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, hal. 92)Catatan: Tidak terdapat do’a khusus yang panjang bagi shohibul qurban ketika hendak menyembelih. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengucapkan Shalawat Ketika Menyembelih ?
Tidak boleh mengucapkan shalawat ketika hendak menyembelih, karena 2 alasan:
- Tidak terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan shalawat ketika menyembelih. Sementara beribadah tanpa dalil adalah perbuatan bid’ah.
- Bisa jadi orang akan menjadikan nama Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wasilah ketika qurban. Atau bahkan bisa jadi seseorang membayangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyembelih, sehingga sembelihannya tidak murni untuk Allah. (lih. Syarhul Mumti’ 7/492)
Pemanfaatan Hasil Sembelihan
Bagi pemilik hewan qurban dibolehkan memanfaatkan daging qurbannya, melalui:
- Dimakan sendiri dan keluarganya, bahkan sebagian ulama menyatakan shohibul qurban wajib makan bagian hewan qurbannya. Termasuk dalam hal ini adalah berqurban karena nadzar menurut pendapat yang benar.
- Disedekahkan kepada orang yang membutuhkan
- Dihadiahkan kepada orang yang kaya
- Disimpan untuk bahan makanan di lain hari. Namun penyimpanan ini hanya dibolehkan jika tidak terjadi musim paceklik atau krisis makanan.
Dari Salamah bin Al Akwa’ dia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa diantara
kalian yang berqurban maka jangan sampai dia menjumpai subuh hari
ketiga sesudah Ied sedangkan dagingnya masih tersisa walaupun sedikit.”
Ketika datang tahun berikutnya maka para sahabat mengatakan, “Wahai
Rasulullah, apakah kami harus melakukan sebagaimana tahun lalu ?” Maka
beliau menjawab, “(Adapun sekarang) Makanlah sebagian, sebagian lagi
berikan kepada orang lain dan sebagian lagi simpanlah. Pada tahun lalu
masyarakat sedang mengalami kesulitan (makanan) sehingga aku
berkeinginan supaya kalian membantu mereka dalam hal itu.” (HR. Bukhari
dan Muslim). Menurut mayoritas ulama perintah yang terdapat dalam hadits
ini menunjukkan hukum sunnah, bukan wajib (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/378) Oleh sebab itu, boleh mensedekahkan semua hasil sembelihan
qurban. Sebagaimana diperbolehkan untuk tidak menghadiahkannya (kepada
orang kaya, ed.) sama sekali kepada orang lain (Minhaajul Muslim, 266).
(artinya hanya untuk shohibul qurban dan sedekah pada orang miskin, ed.)
Bolehkah Memberikan Daging Qurban Kepada Orang Kafir ?
Ulama madzhab Malikiyah berpendapat
makruhnya memberikan daging qurban kepada orang kafir, sebagaimana kata
Imam Malik: “(diberikan) kepada selain mereka (orang kafir) lebih aku
sukai.” Sedangkan syafi’iyah berpendapat haramnya memberikan daging
qurban kepada orang kafir untuk qurban yang wajib (misalnya qurban
nadzar, pen.) dan makruh untuk qurban yang sunnah. (lih. Fatwa Syabakah
Islamiyah no. 29843). Al Baijuri As Syafi’I mengatakan: “Dalam Al Majmu’
(Syarhul Muhadzab) disebutkan, boleh memberikan sebagian qurban sunnah
kepada kafir dzimmi yang faqir. Tapi ketentuan ini tidak berlaku untuk
qurban yang wajib.” (Hasyiyah Al Baijuri 2/310)
Lajnah Daimah (Majlis Ulama’ saudi Arabia) ditanya tentang bolehkah memberikan daging qurban kepada orang kafir.
Jawaban Lajnah :
“Kita dibolehkan memberi daging qurban
kepada orang kafir Mu’ahid (****) baik karena statusnya sebagai orang
miskin, kerabat, tetangga, atau karena dalam rangka menarik simpati
mereka… namun tidak dibolehkan memberikan daging qurban kepada orang
kafir Harby, karena kewajiban kita kepada kafir harby adalah merendahkan
mereka dan melemahkan kekuatan mereka. Hukum ini juga berlaku untuk
pemberian sedekah. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah dalam surat
Al Mumtahanah ayat 8 :
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu
karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah memerintahkan Asma’ binti Abu Bakr radhiallahu ‘anhu
untuk menemui ibunya dengan membawa harta padahal ibunya masih musyrik.”
(Fatwa Lajnah Daimah no. 1997).
Kesimpulannya, memberikan bagian hewan
qurban kepada orang kafir dibolehkan karena status hewan qurban sama
dengan sedekah atau hadiah, dan diperbolehkan memberikan sedekah maupun
hadiah kepada orang kafir. Sedangkan pendapat yang melarang adalah
pendapat yang tidak kuat karena tidak berdalil.
(****) Kafir Mu’ahid: Orang kafir yang
mengikat perjanjian damai dengan kaum muslimin. Termasuk orang kafir
mu’ahid adalah orang kafir yang masuk ke negeri islam dengan izin resmi
dari pemerintah. Kafir Harby: Orang kafir yang memerangi kaum muslimin.
Kafir Dzimmi: Orang kafir yang hidup di bawah kekuasaan kaum muslimin.
Larangan Memperjual-Belikan Hasil Sembelihan
Tidak diperbolehkan memperjual-belikan
bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, teklek, bulu,
tulang maupun bagian yang lainnya. Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu
mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan aku
untuk mengurusi penyembelihan onta qurbannya. Beliau juga memerintahkan
saya untuk membagikan semua kulit tubuh serta kulit punggungnya. Dan
saya tidak diperbolehkan memberikan bagian apapun darinya kepada tukang
jagal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Bahkan terdapat ancaman keras dalam
masalah ini, sebagaimana hadis berikut:
من باع جلد أضحيته فلا أضحية له
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang
menjual kulit hewan qurbannya maka ibadah qurbannya tidak ada nilainya.”
(HR. Al Hakim 2/390 & Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan:
Hasan)
Tetang haramnya pemilik hewan menjual
kulit qurban merupakan pendapat mayoritas ulama, meskipun Imam Abu
Hanifah menyelisihi mereka. Namun mengingat dalil yang sangat tegas dan
jelas maka pendapat siapapun harus disingkirkan.
Catatan:
- Termasuk memperjual-belikan bagian hewan qurban adalah menukar kulit atau kepala dengan daging atau menjual kulit untuk kemudian dibelikan kambing. Karena hakekat jual-beli adalah tukar-menukar meskipun dengan selain uang.
- Transaksi jual-beli kulit hewan qurban yang belum dibagikan adalah transaksi yang tidak sah. Artinya penjual tidak boleh menerima uang hasil penjualan kulit dan pembeli tidak berhak menerima kulit yang dia beli. Hal ini sebagaimana perkataan Al Baijuri: “Tidak sah jual beli (bagian dari hewan qurban) disamping transaksi ini adalah haram.” Beliau juga mengatakan: “Jual beli kulit hewan qurban juga tidak sah karena hadis yang diriwayatkan Hakim (baca: hadis di atas).” (Fiqh Syafi’i 2/311).
- Bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan (disedekahkan), baik yang dilakukan panitia maupun shohibul qurban.
Larangan Mengupah Jagal Dengan Bagian Hewan Sembelihan
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu
‘anhu bahwa “Beliau pernah diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk mengurusi penyembelihan ontanya dan agar membagikan seluruh
bagian dari sembelihan onta tersebut, baik yang berupa daging, kulit
tubuh maupun pelana. Dan dia tidak boleh memberikannya kepada jagal
barang sedikitpun.” (HR. Bukhari dan Muslim) dan dalam lafaz lainnya
beliau berkata, “Kami mengupahnya dari uang kami pribadi.” (HR. Muslim).
Danini merupakan pendapat mayoritas ulama (lihat Shahih Fiqih Sunnah,
II/379)
Syaikh Abdullah Al Bassaam mengatakan,
“Tukang jagal tidak boleh diberi daging atau kulitnya sebagai bentuk
upah atas pekerjaannya. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Yang
diperbolehkan adalah memberikannya sebagai bentuk hadiah jika dia
termasuk orang kaya atau sebagai sedekah jika ternyata dia adalah
miskin…..” (Taudhihul Ahkaam, IV/464). Pernyataan beliau semakna dengan
pernyataan Ibn Qosim yang mengatakan: “Haram menjadikan bagian hewan
qurban sebagai upah bagi jagal.” Perkataan beliau ini dikomentari oleh
Al Baijuri: “Karena hal itu (mengupah jagal) semakna dengan jual beli.
Namun jika jagal diberi bagian dari qurban dengan status sedekah bukan
upah maka tidak haram.” (Hasyiyah Al Baijuri As Syafi’i 2/311).
Adapun bagi orang yang memperoleh hadiah
atau sedekah daging qurban diperbolehkan memanfaatkannya sekehendaknya,
bisa dimakan, dijual atau yang lainnya. Akan tetapi tidak diperkenankan
menjualnya kembali kepada orang yang memberi hadiah atau sedekah
kepadanya (Tata Cara Qurban Tuntunan Nabi, 69)
Menyembelih Satu Kambing Untuk Makan-Makan Panitia ? Atau Panitia Dapat Jatah Khusus ?
Status panitia maupun jagal dalam
pengurusan hewan qurban adalah sebagai wakil dari shohibul qurban dan
bukan amil (*****). Karena statusnya hanya sebagai wakil maka panitia
qurban tidak diperkenankan mengambil bagian dari hewan qurban sebagai
ganti dari jasa dalam mengurusi hewan qurban. Untuk lebih memudahkan
bisa diperhatikan ilustrasi kasus berikut:
Adi ingin mengirim uang Rp 1 juta kepada
Budi. Karena tidak bisa ketemu langsung maka Adi mengutus Rudi untuk
mengantarkan uang tersebut kepada Budi. Karena harus ada biaya transport
dan biaya lainnya maka Adi memberikan sejumlah uang kepada Rudi.
Bolehkah uang ini diambilkan dari uang Rp 1 juta yang akan dikirimkan
kepada Budi?? Semua orang akan menjawab: “TIDAK BOLEH KARENA BERARTI
MENGURANGI UANGNYA BUDI.”
Status Rudi pada kasus di atas hanyalah
sebagai wakil Adi. Demikian pula qurban. Status panitia hanya sebagai
wakil pemilik hewan, sehingga dia tidak boleh mengambil bagian qurban
sebagai ganti dari jasanya. Oleh karena itu, jika menyembelih satu
kambing untuk makan-makan panitia, atau panitia dapat jatah khusus
sebagai ganti jasa dari kerja yang dilakukan panitia maka ini tidak
diperbolehkan.
Sebagian orang menyamakan status
panitia qurban sebagaimana status amil dalam zakat. Bahkan mereka
meyebut panitia qurban dengan ‘amil qurban’. Akibatnya mereka
beranggapan panitia memiliki jatah khusus dari hewan qurban sebagaimana
amil zakat memiliki jatah khusus dari harta zakat. Yang benar, amil
zakat tidaklah sama dengan panitia pengurus qurban. Karena untuk bisa
disebut amil, harus memenuhi beberapa persyaratan. Sementara pengurus
qurban hanya sebatas wakil dari shohibul qurban, sebagaimana status
sahabat Ali radhiallahu ‘anhu dalam mengurusi qurban Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan tidak ada riwayat Ali radhiallahu ‘anhu mendapat
jatah khusus dari qurbannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nasehat & Solusi Untuk Masalah Kulit
Satu penyakit kronis yang menimpa ibadah
qurban kaum muslimin bangsa kita, mereka tidak bisa lepas dari ‘fiqh
praktis’ menjual kulit atau menggaji jagal dengan kulit. Memang kita
akui ini adalah jalan pintas yang paling cepat untuk melepaskan diri
dari tanggungan mengurusi kulit. Namun apakah jalan pintas cepat ini
menjamin keselamatan??? Bertaqwalah kepada Allah wahai kaum muslimin…
sesungguhnya ibadah qurban telah diatur dengan indah dan rapi oleh Sang
Peletak Syari’ah. Jangan coba-coba untuk keluar dari aturan ini karena
bisa jadi qurban kita tidak sah. Berusahalah untuk senantiasa berjalan
sesuai syari’at meskipun jalurnya ‘kelihatannya’ lebih panjang dan
sedikit menyibukkan. Jangan pula terkecoh dengan pendapat sebagian
orang, baik ulama maupun yang ngaku-ngaku ulama, karena orang yang
berhak untuk ditaati secara mutlak hanya satu yaitu Nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka semua pendapat yang bertentangan
dengan hadis beliau harus dibuang jauh-jauh.
Tidak perlu bingung dan merasa repot.
Bukankah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu pernah mengurusi qurbannya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jumlahnya 100 ekor onta?! Tapi
tidak ada dalam catatan sejarah Ali bin Abi thalib radhiallahu ‘anhu
bingung ngurusi kulit dan kepala. Demikianlah kemudahan yang Allah
berikan bagi orang yang 100% mengikuti aturan syari’at. Namun bagi
mereka (baca: panitia) yang masih merasa bingung ngurusi kulit, bisa
dilakukan beberapa solusi berikut:
- Kumpulkan semua kulit, kepala, dan kaki hewan qurban. Tunjuk sejumlah orang miskin sebagai sasaran penerima kulit. Tidak perlu diantar ke rumahnya, tapi cukup hubungi mereka dan sampaikan bahwa panitia siap menjualkan kulit yang sudah menjadi hak mereka. Dengan demikian, status panitia dalam hal ini adalah sebagai wakil bagi pemilik kulit untuk menjualkan kulit, bukan wakil dari shohibul qurban dalam menjual kulit.
- Serahkan semua atau sebagian kulit kepada yayasan islam sosial (misalnya panti asuhan atau pondok pesantren). (Terdapat Fatwa Lajnah yang membolehkan menyerahkan bagian hewan qurban kepada yayasan).
Mengirim sejumlah uang untuk dibelikan
hewan qurban di tempat tujuan (di luar daerah pemilik hewan) dan
disembelih di tempat tersebut? atau mengirimkan hewan hidup ke tempat
lain untuk di sembelih di sana?
Pada asalnya tempat menyembelih qurban
adalah daerah orang yang berqurban. Karena orang-orang yang miskin di
daerahnya itulah yang lebih berhak untuk disantuni. Sebagian syafi’iyah
mengharamkan mengirim hewan qurban atau uang untuk membeli hewan qurban
ke tempat lain – di luar tempat tinggal shohibul qurban – selama tidak
ada maslahat yang menuntut hal itu, seperti penduduk tempat shohibul
qurban yang sudah kaya sementara penduduk tempat lain sangat
membutuhkan. Sebagian ulama membolehkan secara mutlak (meskipun tidak
ada tuntutan maslahat). Sebagai jalan keluar dari perbedaan pendapat,
sebagian ulama menasehatkan agar tidak mengirim hewan qurban ke selain
tempat tinggalnya. Artinya tetap disembelih di daerah shohibul qurban
dan yang dikirim keluar adalah dagingnya. (lih. Fatwa Syabakah Islamiyah
no. 2997, 29048, dan 29843 & Shahih Fiqih Sunnah, II/380
Kesimpulannya, berqurban dengan model
seperti ini (mengirim hewan atau uang dan bukan daging) termasuk qurban
yang sah namun menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
karena tiga hal:
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radiallahu ‘anhum tidak pernah mengajarkannya
- Hilangnya sunnah anjuran untuk disembelih sendiri oleh shohibul qurban
- Hilangnya sunnah anjuran untuk makan bagian dari hewan qurban.
Wallaahu waliyut taufiq.
Bagi para pembaca yang ingin membaca
penjelasan yang lebih lengkap dan memuaskan silakan baca buku Tata Cara
Qurban Tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diterjemahkan
Ustadz Aris Munandar hafizhahullah dari Talkhish Kitab Ahkaam Udh-hiyah
wadz Dzakaah karya Syaikh Al Utsaimin rahimahullah, penerbit Media
Hidayah. Semoga risalah yang ringkas sebagai pelengkap untuk tulisan
saudaraku Abu Muslih hafizhahullah ini bermanfaat dan menjadi amal yang
diterima oleh Allah ta’ala, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha
Mulia. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seluruh pengikut beliau yang setia.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamiin.
Yogyakarta, 1 Dzul hijjah 1428
KEUTAMAAN TANGGAL 1 SAMPAI 10 DZUL HIJJAH
Dari Ibn Abbas radhiallahu ‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ما من أيّام العمل الصّالح فيها أحبّ إلى اللّه من هذه الأيّام - يعني أيّام العشر - قالوا : يا رسول اللّه ولا الجهاد في سبيل اللّه ؟ قال : ولا الجهاد في سبيل اللّه ، إلاّ رجل خرج بنفسه وماله ، فلم يرجع من ذلك بشيء.
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih
dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan selama 10 hari
pertama bulan Dzul Hijjah.” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali
orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang
kembali satupun.” (HR. Abu Daud & dishahihkan Syaikh Al Albani)
Berdasarkan hadis tersebut, ulama’
sepakat dianjurkannya berpuasa selama 8 hari pertama bulan Dzul hijjah.
Dan lebih ditekankan lagi pada tanggal 9 Dzul Hijjah (Hari ‘Arafah)
Diceritakan oleh Al Mundziri dalam At
Targhib (2/150) bahwa Sa’id bin Jubair (Murid terbaik Ibn Abbas) ketika
memasuki tanggal satu Dzul Hijjah, beliau sangat bersungguh-sungguh
dalam beribadah sampai hampir tidak bisa mampu melakukannya.
Bagaimana dengan Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah) Secara Khusus ?
Terdapat hadis yang menyatakan: “Orang
yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.”
Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Zauzy (Al
Maudhu’at 2/198), As Suyuthi (Al Masnu’ 2/107), As Syaukani (Al
Fawaidul Majmu’ah).
sumber abufairuuz
0 komentar:
Posting Komentar