Inilah
gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat
dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi
ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama
menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh
meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa
syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat
dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya
mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah
sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah
ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga
walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai
orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan
shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.
Sedangkan
syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk
memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin.
Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena
masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah
peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan
larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah
(syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan
tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan
yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba
melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua
kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan
pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang
mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan
larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah
yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk
surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau
beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya
ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata
untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti
firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".
Apabila
Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah
merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka
itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan
pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu
haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal
perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau
tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa
beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk
surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa
dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga,
maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.
Pernah
dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia
telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon
kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka
Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan
ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga.
Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar
berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya
untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban
beribadah (tunduk) kepada-Nya."
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika
ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia
dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu,
sesungguhnya Aku telah mengampuninya".
Syari'at
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat
Ibarat mutiara itulah haqiqat.
Ungkapan
dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat.
Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat
ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan.
Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk
memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan
ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu,
tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal.
Sebagian Ulama
menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa.
Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya.
Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya,
dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama
ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan
undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan
larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia.
Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf).
Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at
dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah
bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu
yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti
dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk
kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.
Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para
Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat
waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu
saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam
menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan
rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah.
Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl
(wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai
dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang
meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn
(wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara
subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas
suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah),
karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan,
seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang
suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang
berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan
kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn
(wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun
tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa
syubhat.
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy.
Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun.
Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada
Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh
dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka
janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu Hurairah mengatakan: "Pada
suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan
makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang.
Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya
dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil
debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari
tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk
menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu
empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i
pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada
dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik
dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada
dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".
Imam Ahmad bin Hanbal
pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah.
Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua
buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya
sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu
ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah
beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang
mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia
para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata wa-azimatun,
menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh
kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan
tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian
juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah
mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur,
menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang
kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: "Cukurlah
kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang
punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi
perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga
lagi untuk bernafas".
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah
manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan
lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya.
Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka
sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan".
Oleh
karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala
macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan
suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan
Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan
membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati
manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang
tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .
Sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala,
thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".
Para
penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki,
kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju
kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat
yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan
bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf
atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan
mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari'at
Thariqat
dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan
berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.
Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.
Siapa
pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia
ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang
menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat
sangat tersesat dan menyesatkan.
Karena syari'at itu
seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan
dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya
walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah
syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu
ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam.
Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh
kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua
kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan
ketulusan.
Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?"
Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat
Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah
sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang
ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib
bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara
intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan
erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu
syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati
para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan
ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at.
Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari
teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.
Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya
Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah
pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para
penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran
pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya
melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah,
seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu
syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan
ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.
Ma'rifatullah
Para
ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai
tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai
ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak
sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan
tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara
khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka.
Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para
penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh
yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di
kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat
matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang
harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri
berada dalam keharuman".
Ketika seorang guru (da'i)
sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci.
Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam,
hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang
menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur
atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid,
tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara
lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama
Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar
dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat
sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya
tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau
berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada
ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti
bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga
yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk
berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu
dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara
seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan
mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum
dan kaum dhu'afa".
sumber pustaka.abatasa.com
0 komentar:
Posting Komentar