Inilah
 gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat 
dan haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi 
ketakwaannya dan menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama
 menjadi sarana bagi orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh 
meninggalkan salah satu dari tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa 
syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat
 dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya 
mendirikan shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah
 sejak zaman azali dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah 
ditetapkan sebagai orang yang beruntung, tentu ia akan masuk surga 
walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila ia telah ditetapkan sebagai 
orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka, walaupun mendirikan 
shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.
Sedangkan
 syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk 
memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. 
Bagi orang ini ada atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena 
masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah 
peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan
 larangan. Thariqat adalah pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah 
(syari'at). Haqiqat adalah menyelami dan mendalami apa yang tersirat dan
 tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan firman Allah.
Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan
 yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba 
melepaskan dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua
 kemampuan dari perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan
 pertolongan Allah semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang 
mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan 
larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya itulah 
yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk
 surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau 
beranggapan hanya dengan amal ia akan masuk surga. 
Sebenarnya
 ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata 
untuk melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti
 firman Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".
Apabila
 Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah 
merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka 
itu semua merupakan keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan 
pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu
 haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau tidak dari suatu amal 
perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal perbuatan atau 
tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa 
beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang sungguh-sungguh, ia akan masuk 
surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang yang beranggapan bahwa 
dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia akan masuk surga,
 maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni dan orang yang kedua adalah muta' anni.
Pernah
 dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia 
telah beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon 
kepada Allah agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka
 Allah SWT, mengutus malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan 
ibadahnya yang sekian lama itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. 
Laki-laki ini mengatakan pula kepada malaikat itu setelah mendengar 
berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya 
untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban 
beribadah (tunduk) kepada-Nya." 
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut, ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh laki laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika
 ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia 
dan kasih sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu,
 sesungguhnya Aku telah mengampuninya".
Syari'at
 
Ibarat bahtera itulah syari'at
Ibarat samudera itulah thariqat 
Ibarat mutiara itulah haqiqat.
Ungkapan
 dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. 
Syari'at ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat
 ibarat lautan, yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. 
Haqiqat ibarat mutiara yang sangat berharga dan banyak manfaatnya. 
Untuk
 memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan 
ombak dan gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu,
 tidak ada jalan lain kecuali dengan kapal. 
Sebagian Ulama 
menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa.
 Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya.
 Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, 
dan isi tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya. 
Agama
 ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan 
undang-undang yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan 
larangannya jelas dan dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. 
Menurut Syaikh al-Hayyiny, syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf).
 Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at 
dikukuhkan oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah
 bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu 
yang disampaikan kepada para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti 
dari penghambaan (ibadah) manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk 
kepada hukum syari' at tanpa perantaraan apapun.
Thariqat 
 
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap wara' berperilaku dan sikap
Dengan riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para
 Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat 
waspada dan berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu 
saja melakukan rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam 
menjalankan macam-macam ibadah. Walaupun ada kebolehan melakukan 
rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati melaksanakan amal ibadah. 
Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah adalah wara'ul 'adl
 (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan sesuai 
dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang 
meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn
 (wara' orang-orang saleh). Yakni menjauhkan diri dari semua perkara 
subhat, seperti makanan yang tidak jelas asal usulnya, atau ragu atas 
suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan, atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa). Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah),
 karena kuatir kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, 
seperti bergaul dengan orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang 
suka bermaksiat, memakai pakaian yang serupa dengan orang- orang yang 
berakhlak jelek, menyimpan barang-barang berbahaya atau diragukan 
kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram. 
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn
 (wara' orang-orang yang jujur). Yakni menghindari sesuatu walaupun 
tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya hal-hal yang mubah yang terasa 
syubhat. 
Kisah-kisah berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy.
 Ia mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. 
Biasanya pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada
 Imam Ahmad, "Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh
 dari dalam rumahmu telah ada cahaya orang yang sangat wara', maka 
janganlah engkau memintal benang dengan memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu Hurairah mengatakan: "Pada
 suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan 
makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. 
Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin membersihkan tangannya
 dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil 
debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari 
tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk 
menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu 
empat puluh tahun lamanya".
Dikisahkan juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i
 pada salah satu dindingnya. Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada 
dinding rumah kontrakan itu. Karena ia merasa bahwa perbuatan itu baik 
dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang membersihkan debu-debu pada 
dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal yang sangat lama".
Imam Ahmad bin Hanbal
 pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. 
Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua
 buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya
 sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu 
ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib, ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya: "yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah
 beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang 
mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia 
para sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in. 
Kata wa-azimatun,
 menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh 
kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan 
tetapi kuat menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian 
juga melatih diri dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya riyadlah
 mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur, 
menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang 
kurang berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi SAW bersabda: "Cukurlah
 kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk menegakkan tulang 
punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia membagi 
perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga 
lagi untuk bernafas".
Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah
 manusia itu tertelungkup dalam neraka, tidak lain karena buah omongan 
lisannya. Sedangkan usia manusia itu adalah modal pokok perdagangannya. 
Apabila disia-siakan dengan makhluk perbuatan yang tidak berguna, maka 
sungguh ia telah merusaknya dengan kesia-siaan". 
Oleh 
karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala 
macam perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan 
suci akan mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat 
 
Haqiqat adalah akhir perjalanan mencapai tujuan 
Menyaksikan cahaya nan gemerlapan
Dari ma'rifatullah yang penuh harapan
Untuk menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan
 membuka rahasia yang tidak dapat dipandang oleh mata kepala. Mata hati 
manusia menjadi terang, sehingga dapat memandang dengan jelas semua yang
 tertutup rapat dari penglihatan lahiriah manusia.
Al-Qusyairi membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq. Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan Allah SWT .
Sudah
 dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala,
 thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at), kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".
Para
 penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, 
kecuali telah menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju
 kesempurnaan hidup ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat 
yang sempurna, tiga jalan itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan 
bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak ditempuh maka penuntut tasawuf 
atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani yang tentram, tidak akan 
mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib Bersyari'at 
Thariqat
 dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan 
berhasil ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at. 
Dasar pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at. 
Siapa
 pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia 
ulama sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang 
menganggap dirinya tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat 
sangat tersesat dan menyesatkan.
Karena syari'at itu 
seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan 
dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya
 walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah 
syari'atnya wajib melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu 
ibadah seorang waliyullah melebihi mutu ibadah orang-orang awam. 
Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika mendirikan shalat dengan penuh 
kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan sujudnya, sehingga dua 
kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan penuh kecintaan dan
 ketulusan.
Ketika Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang bersyukur?"
 Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat 
Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah 
sekalipun tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang 
ditaklifkan kepada setiap muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib 
bagi penuntut kehidupan akhirat dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara
 intensif mempelajari ilmu syari'at. Sebab semua ilmu yang berkaitan 
erat dengan kehidupan dunia dan akhirat, bergantung erat kepada ilmu 
syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan (ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati
 para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan 
ruhaniyah yang tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. 
Demikian juga kemaksiatan batin dan pencegahannya sudah tercantum dari 
teladan Nabi SAW, semuanya tercantum dalam ilmu syari'at.
Ilmu tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah hasanah-nya
 Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW adalah 
pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para 
penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran 
pertama penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya 
melahirkan akhlak mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah,
 seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi SAW, sebagian dari ilmu 
syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah itu akan 
ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.
Ma'rifatullah
Para
 ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai 
tingkat tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai 
ma'rifatullah ini setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak 
sama. Ma'rifatullah adalah tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan
 tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara 
khusyusiah, lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. 
Akan tetapi untuk mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para 
penuntut dapat juga mencapai melalui berguru langsung dengan para syaikh
 yang mursyid.
Para syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di
 kerajaan langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat 
matahari yang menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang 
harum yang menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri 
berada dalam keharuman".
Ketika seorang guru (da'i)
 sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung dan suci. 
Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam, 
hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang 
menempuh jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur
 atau amalan yang bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid,
 tasbih dan tahlil. Cara ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara
 lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama 
Fiqh, atau ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar
 dan mengajar seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat 
sunnat. Karena perbuatan atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena juga bernilai ibadah.
Sayyid Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya
 tidak akan mencapai ma'rifatullah dengan hanya qiyamullail, atau 
berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya saya kepada 
ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti 
bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga
 yang beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk 
berusaha mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu 
dijual dan hasilnya disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara 
seperti ini merupakan ibadah, selain banyak manfaatnya, juga akan 
mencapai ma'rifatullah karena akan memperoleh do'anya masyarakat umum 
dan kaum dhu'afa".
sumber pustaka.abatasa.com 


0 komentar:
Posting Komentar