Di antara bukti lengkapnya agama Islam adalah diajarkannya
adab-adab yang perlu diperhatikan ketika seseorang hendak menyembelih hewan.
Menyembelih dalam istilah fiqh disebut dengan Adz Dzakaah. Secara
istilah Adz Dzakaah adalah menyembelih hewan dengan memotong kerongkongan[i]
dan tenggorokannya[ii]. Hal itu karena hewan
yang halal belum bisa dimakan kecuali dengan disembelih, selain ikan dan
belalang.
Syarat sah dalam menyembelih
Penyembelihan yang syar’i adalah penyembelihan yang terpenuhi
syarat-syarat berikut:
1. Penyembelihnya adalah orang yang berhak
menyembelih, yaitu orang yang berakal baik laki-laki maupun wanita, seorang
muslim maupun ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), lih. Al Ma’idah: 5.
Oleh karena itu, jika tidak berhak, misalnya penyembelihnya orang
yang sedang mabuk, gila atau anak kecil yang belum tamyiz (belum bisa
membedakan mana yang bermanfa’at dan mana yang tidak, di mana usianya kira-kira
di bawah tujuh tahun), maka sembelihan tersebut belum halal. Demikian pula
tidak halal sembelihan orang musyrik (bukan ahlul kitab) seperti para penyembah
berhala, orang-orang Majusi (penyembah api), orang-orang shaabi’in (penyembah
bintang), orang zindik, atheis dan orang yang murtad.
2.
Alat yang digunakan menyembelih harus tajam yang bisa mengalirkan
darah dan memutuskan tenggorokan.
Alat tersebut bisa berupa pisau, batu, pedang, kaca, kayu yang
tajam dan bambu yang tajam yang bisa dipakai untuk memotong seperti halnya
pisau selain gigi dan kuku. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَا أَنْهَرَ الدَّمَ وَذُكِرَ
اسْمُ اللَّهِ فَكُلْ لَيْسَ السِّنَّ وَالظُّفُرَ
“Sesuatu yang bisa menumpahkan darah dan
disebut nama Allah padanya, maka makanlah, bukan menggunakan gigi/taring dan
kuku.” (HR. Muslim)
3.
Memotong tenggorokan dan kerongkongan. Dan tidak disyaratkan harus
memotong dua urat leher (inilah pendapat Imam Syafi’i dan Ahmad
Jika leher hewan dipotong sampai putus, maka hewan sembelihan
tersebut tidak mengapa dimakan. Adapun tentang
menyembelih dari tengkuk (belakang leher), menurut pendapat yang rajih (kuat)
adalah sah sembelihannya apabila alat potong tersebut memotong bagian yang
wajib dipotong.
4.
Mengucapkan basmalah (Bismillah).
Ketika akan menyembelih wajib
mengucapkan basmalah (lih. Al An’aam: 121) dan disunatkan menambahkan takbir
(Allahu Akbar) sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam.
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika
seseorang sengaja tidak membaca (basmalah), maka haram dimakan. Namun jika
tidak membacanya karena lupa, maka halal.”
Menyembelih hewan yang hampir mati atau yang sakit
Hewan yang sakit, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh dari
tebing, yang ditanduk oleh binatang lain atau yang diserang binatang buas
apabila kita mendapatkannya hampir mati (masih hidup), lalu kita sempat
menyembelihnya sebelum matinya, maka boleh dimakan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul,
yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat
menyembelihnya. (terjemah Al Ma’idah: 3)
Tanda masih hidup adalah dengan masih bergerak tangan atau kakinya
atau masih terasa bernafas dsb. namun jika dalam kondisi naza' (sekarat), di
mana tangan atau kakinya sudah tidak bergerak, maka dalam kondisi ini dianggap
bangkai, dan tidak ada faedahnya menyembelih.
Mengangkat tangan sebelum selesai penyembelihan
Apabila seorang penyembelih mengangkat tangannya sebelum selesai
proses penyembelihan, setelah itu segera kembali melanjutkan dan menyempurnakan
penyembelihannya, maka hukumnya boleh. Hal itu karena melukai hewan, lalu
menyembelihnya sedangkan hewan tersebut belum mati, maka masuk ke dalam ayat
“Illaa maa dzakkaitum” (Kecuali jika kamu sempat menyembelihnya).
Melukai hewan ketika kesulitan menyembelihnya
Hewan yang halal dengan disembelih, jika sanggup menyembelihnya,
maka disembelih pada tempat penyembelihan. Namun jika tidak sanggup
menyembelihnya, maka bisa dengan melukai bagian badan mana saja dari hewan
tersebut, dengan syarat luka tersebut mengeluarkan darah di mana hewan tersebut
bisa mati karenanya. Rafi’ bin Khudaij berkata:
كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ صلى الله
عليه وسلم فِى سَفَرٍ فَنَدَّ بَعِيرٌ مِنَ الإِبِلِ - قَالَ - فَرَمَاهُ رَجُلٌ
بِسَهْمٍ فَحَبَسَهُ ، قَالَ ثُمَّ قَالَ : « إِنَّ لَهَا أَوَابِدَ كَأَوَابِدِ
الْوَحْشِ فَمَا غَلَبَكُمْ مِنْهَا فَاصْنَعُوا بِهِ هَكَذَا » .
“Kami pernah bersafar besama Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam, tiba-tiba seekor unta ada yang berlari kencang, lalu
dipanahlah oleh seseorang dan akhirnya tidak berkutik, Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam pun bersabda, “Sesungguhnya binatang ini kadang liar seperti keadaan
hewan liar lainnya. Jika kamu kesulitan, maka lakukanlah seperti ini.” (HR.
Bukhari)
Imam Ahmad dan para pemilik kitab Sunan meriwayatkan dari Abul
‘Asyraa’ dari bapaknya, bahwa ia berkata, "Wahai Rasulullah! Bukankah
penyembelihan itu hanya pada tenggorokan dan libbah (bagian di pangkal leher di
atas dada)?" Beliau bersabda, “Seandainya kamu menusuk pahanya pun sudah
cukup.”
Tirmidzi berkata: “Hal ini dalam keadaan darurat seperti halnya
hewan yang lari sedangkan kita tidak sanggup menangkapnya atau hewan yang jatuh
ke laut dan kita khawatir binatang tersebut tenggelam, lalu kita gunakan pisau
atau panah yang bisa mengalirkan darahnya kemudian binatang itu mati, maka
hukumnya halal.”
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan
Aisyah bahwa binatang yang sulit kita pegang, maka disamakan seperti binatang
buruan, dan binatang yang jatuh ke sumur, maka penyembelihannya dengan cara
yang kamu mampu.”
Penyembelihan terhadap janin hewan
Apabila janin keluar dari perut induknya, dan ternyata masih
hidup, maka jika hendak dimakan harus disembelih. Namun jika induknya kita
sembelih, sedangkan janin itu berada dalam perut induknya, maka dengan
menyembelih induknya sudah cukup tanpa perlu menyembelih lagi janinnya, baik
janinnya keluar dalam keadaan mati atau hampir mati.
Cara menyembelih
Menyembelih bisa dengan cara dzabh dan bisa dengan cara nahr.
Dengan cara dzabh adalah dengan cara memotong tenggorokan, kerongkongan
dan dua urat leher (yakni urat yang berada di dua sisi leher mengapit tenggorokan
yang merupakan saluran darah). Sedangkan dengan cara nahr adalah dengan ditusuk pada bagian libbah. Libbah
adalah tempat
kalung di lehernya. Letaknya di pangkal leher dan di atas dada, di mana tempat
tersebut dapat langsung mematikan unta.
Binatang yang
disembelih dengan cara dzabh contohnya kambing (dengan semua macamnya), burung,
ayam dsb. sapi pun sama dengan cara dzabh, namun boleh juga dengan cara nahr,
karena sapi ada dua tempat, tempat didzabh dan tempat dinahr. Sedangkan unta
maka cara penyembelihannya dengan cara nahr.
Untuk cara dzabh misalnya
kambing, maka dengan membaringkannya miring di atas lambung yang kiri dengan
menghadapkan ke kiblat, dan penyembelih menahan
kepala hewan dengan tangan kiri, lalu
penyembelih mengucapkan “Bismillah wallahu akbar”, setelah itu ia segera
memotong tenggorokan, kerongkongan dan dua urat lehernya.
Untuk cara nahr, yaitu unta,
sunnahnya
adalah sambil berdiri terikat kaki kiri bagian depan, lalu ditusuk pada bagian
libbah setelah mengucapkan “Bismillah wallahu akbar”, dan tikaman dilakukan
berulang-ulang sampai unta itu mati.
Catatan: Kalau seorang penyembelih melakukan dzabh pada binatang
yang dinahr atau melakukan nahr pada binatang yang didzabh, maka boleh dimakan
sembelihan itu, namun makruh.
Kesalahan dalam menyembelih
1. Menyembelih binatang untuk selain
Allah. Ini adalah syirk akbar (seperti membuat tumbal dan sesaji). Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« لَعَنَ اللَّهُ مَنْ لَعَنَ وَالِدَهُ
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ آوَى
مُحْدِثًا وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ غَيَّرَ مَنَارَ الأَرْضِ » .
“Allah
melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya. Allah melaknat orang yang
menyembelih untuk selain Allah. Allah melaknat orang yang memberi tempat bagi
pelaku kejahatan dan Allah melaknat orang yang merubah tanda batas bumi.” (HR.
Muslim, Nasa’i, Ahmad dan Abu Ya’la)
2. Menyembelih menggunakan alat yang kurang
tajam. Hal ini makruh, karena menyalahi sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk menajamkan pisau:
« إِنَّ
اللَّهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا
الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ
شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ » .
“Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan dalam segala hal. Apabila
kalian membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik dan jika kalian
menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, dan hendaknya salah
seorang di antara kamu menajamkan pisaunya serta menyegarkan hewan
sembelihannya.” (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus)
3. Mengasah pisau di hadapan hewan tersebut.
4. Mematahkan leher hewan atau mengulitinya
sebelum nyawanya hilang.
5. Menyeret kambing ke tempat
penyembelihan dengan kasar.
Hukum
sembelihan yang tidak diketahui apakah menyebut nama Allah atau tidak?
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang hal di
atas, ia pun menjelaskan bahwa apa
yang dilakukan oleh orang-orang yang perbuatannya dianggap sah, maka harus
diyakini sah, tidak boleh dipertanyakan. Sebab mempertanyakannya termasuk sikap
berlebihan. Kalau sekiranya kita mengharuskan diri kita untuk mempertanyakan
tentang hal seperti itu, maka kita telah mempersulit diri kita sendiri, karena
adanya kemungkinan setiap makanan yang diberikan kepada kita itu tidak mubah
(tidak boleh), padahal siapa saja yang mengajak anda untuk makan, boleh jadi
makanan itu adalah hasil ghashab (rampasan) atau hasil curian, dan boleh jadi
berasal dari uang yang haram, dan boleh jadi daging yang ada di makanan tidak
disebutkan nama Allah (waktu menyembelih).
Penjelasan
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin tersebut juga sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam berikut:
اِذَا دَخَلَ اَحَدُكُمْ عَلَى
اَخِيْهِ الْمُسْلِمِ فَأَطْعَمَهُ طَعَامًا فَلْيَأْكُلْ مِنْ طَعَامِهِ وَلاَ يَسْأَلْ
عَنْهُ فَإِنْ سَقَاهُ شَرَابًا مِنْ شَرَابِهِ فَلْيَشْرَبْ وَلاَ يَسْأَلْ عَنْهُ
“Apabila
salah seorang di antara kamu menemui saudaranya yang muslim, lalu saudaranya
menghidangkan makanan, maka makanlah dan jangan bertanya tentang (makanan) itu.
Demikian juga apabila saudaranya menghidangkan minuman, maka minumlah dan
jangan bertanya tentang (minuman) itu.” (HR. Ahmad, lih. Silsilah Ash Shahiihah
627)
Oleh
karena itu, kita boleh langsung memakannya tanpa perlu bertanya apakah daging
itu halal atau tidak, karena hukum asal pada seorang muslim adalah selamat dari
hal yang diharamkan. Di samping itu, menanyakan hal demikian dapat menyakiti
hati saudara kita.
Hukum daging
impor
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga pernah ditanya tentang hukum
daging ayam impor, ia menjawab:
“Ayam
impor dari negara asing, yakni non muslim, jika yang menyembelihnya adalah
ahlul kitab, yaitu Yahudi atau Nashrani maka boleh dimakan dan tidak
sepantasnya dipertanyakan bagaimana cara penyembelihannya atau apakah
disembelih atas nama Allah atau tidak? Yang demikian itu karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan daging domba yang dihadiahkan oleh
seorang perempuan Yahudi kepadanya di Khaibar, dan Beliau juga memakan makanan
ketika beliau diundang oleh seorang yahudi, di dalam makanan itu ada sepotong
gajih dan beliau tidak menanyakan bagaimana mereka menyembelihnya atau apakah
disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak? …dst.”
Ia
juga mengatakan,
“Adapun
kalau hewan potong itu datang dari negara asing dan orang yang melakukan
penyembelihannya adalah orang yang tidak halal sembelihannya, seperti
orang-orang majusi dan penyembah berhala serta orang-orang yang tidak menganut
ajaran agama (atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak membolehkan sembelihan selain kaum Muslimin, kecuali orang-orang
ahli kitab; yaitu Yahudi dan Nashrani…dst.”
0 komentar:
Posting Komentar