Sesungguhnya, para ulama di Tanah Air telah menetapkan fatwa tentang hukum nikah kontrak.
Lalu
bagaimanakah hukum kawin kontrak dalam pandangan Islam? Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa hukum nikah kontrak
pada 25 Oktober 1997.
Dalam fatwanya, MUI memutuskan bahwa nikah
kontrak atau mut'ah hukumnya haram. Fatwa nikah kontrak yang
ditandatangani Ketua Umum MUI, KH Hasan Basri, dan Ketua Komisi Fatwa
MUI, KH Ibrahim Hosen, itu juga bersikap keras kepada pelaku nikah
mut'ah.
''Pelaku nikah mut'ah harus dihadapkan ke pengadilan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,'' begitu bunyi
poin kedua keputusan fatwa kawin kontrak itu. Sebagai dasar hukumnya,
MUI bersandar pada Alquran surah al-Mukminun ayat 5-6.
''Dan
(diantara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya kecuali
terhadap istri dan jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal
ini) tiada tercela.'' Berdasarkan ayat itu, MUI menyatakan bahwa
hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai
istri atau jariah.
Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan
mut'ah tak berfungsi sebagai istri, karena ia bukan jariah. MUI
berpendapat akad mut'ah bukan akan nikah, alasannya: Pertama, tak saling
mewarisi. Sedangkan nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
Kedua, idda mut'ah tak seperti iddah nikah biasa.
Nikah mut'ah
dinilai MUI bertentangan dengan persyarikatan akad nikah, yakni
mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan. MUI pun
menganggap nikah mut'ah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yakni UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Para
ulama Nahdlatul Ulama (NU) juga telah menetapkan fatwa terkait nikah
mut'ah dalam forum Bahtsul Masail Dinyah Munas NU pada November 1997 di
Nusa Tenggara Barat. Dalam fatwanya, ulama NU menetapakan bahwa nikah
mut'ah atau kawin kontrak hukumnya haram dan tidak sah.
''Nikah
mut'ah menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, khususnya mazhab empat ,
hukumnya haram dan tidak sah,'' demikian bunyi fatwa ulama NU. Nikah
mut'ah berdasarkan jumhur fukaha termasuk salah satu dari empat macam
nikah fasidah (rusak atau tak sah).
Sebagai dasar hukumnya, ulama
NU bersandar pada al-Umm lil Imam asy-Syafi'i juz V, hlm 71, Fatawi
Syar'iyyah lisy Syaikh Husain Muhammad Mahluf juz II, hlm7, serta
Rahmatul Ummah, hlm 21.
''Demikian halnya semua nikah yang
ditentukan berlangsungnya sampai waktu yang diketahui ataupun yang tidak
diketahui (temporer), maka nikah tersebut tidak sah, dan tidak ada hak
waris ataupun talak antara kedua pasangan suami-istri.''
Lalu bagaimana dengan seorang menikah dengan akad dan saksi untuk masa tertentu, sahkah hukum perkawinannya?
Ulama NU dalam fatwanya menegaskan, nikah temporer ini batal, karena termasuk mut'ah.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah menetapkan fatwa terkait kawin kontrak atau nikah mut'ah.
Para
ulama Muhammadiyah menyatakan nikah mut'ah hukumnya haram. Hal itu
didasarkan pada hadis yang diriwayatkan ath-Thabaraniy dari al-Harits
bin Ghaziyyah:
''Dari al-Harits bin Ghaziyyah, ia berkata, Saya
mendengar Nabi SAW bersabda pada hari penaklukan kota Makkah (Fathu
Makkah), ''Nikah mut'ah dengan wanita itu haram.''
Majelis Tarjih
dan Tajdid PP Muhammadiyah dalam fatwanya menegaskan, keharaman nikah
mut'ah tak hanya sebatas kepada pihak laki-laki dan wanita yang
mengetahui bahwa nikah yang mereka lakukan adalah mut'ah. Tetapi juga
berlaku secara umum, baik pihak wanita itu mengetahuinya maupun tidak
mengetahuinya.
''Orang-orang yang melakukan nikah mut'ah sekarang
ini, menurut hadis di atas jelas telah melakukan hal yang
diharamkan,'' tegas Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Sedangkan
untuk nikah siri, MUI telah mengeluarkan fatwa dalam forum Ijtima'
Ulama Se-Indonesia II, di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa
Timur yang berlangsung 25-28 Mei 2006. Dalam fatwanya, MUI menetapkan,
nikah siri sah dilakukan asal tujuannya untuk membina rumah tangga.
"Pernikahan
di bawah tangan hukumnya sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun
nikah, tetapi haram jika menimbulkan mudharat atau dampak negatif," ujar
Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma'ruf Amin.
Nikah siri dipandang tidak
memenuhi ketentuan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak
negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya terkait dengan
hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak waris. Guna kemudharatan,
peserta ijtima' ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara
resmi pada instansi berwenang.
sumber republika
0 komentar:
Posting Komentar