Dalam konteks historis, embrio fundamentalisme serta radikalisme 
dalam Islam sesungguhnya telah terbenih sejak ratusan tahun silam. Kala 
itu, Abu Musa al Asy'ari mewakili Ali bin Abi Thalib dan 'Amru ibn 'Ash 
mewakili Mu'awiyah bin Abi Sufyan terlibat dalam peristiwa heboh yang 
dikenal dengan peristiwa "tahkim" (arbitrase).
Umat berteriak histeris menolak keputusan yang dianggap tendensius 
terhadap Mu'awiyah. Mereka melantangkan kalimat "La hukma illa lilLah" 
arbitration belongs to Allah
Kelompok yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahab memutuskan untuk 
keluar dan bersembunyi di ruang bawah tanah di Nahrawan. Kemudian 
kelompok ini terkenal dengan sebutan "Khawarij".
Di tengah kontroversi itu, muncullah satu kelompok yang menamai 
dirinya "Sunni". Lalu kelompok ini dikenal luas dan disinyalir sebagai 
golongan "Ahli Sunnah wal Jama'ah". 
 
Tragedi besar-besaran itu ditengarai sebagai yang paling berpengaruh
 atas terpecah belahnya umat Muslim sedunia setelahnya. Sejarawan Islam 
klasik, Philip Khouri Hitty, menandai peristiwa "tahkim" sebagai 
perpecahan terbesar di dunia.
Beberapa tahun kemudian, Islam mulai menuai keterpurukannya seiring 
tragedi "poros timur" dan "poros barat" di Granada, Spanyol. Puncaknya 
pada tahun 1923, poros Islam di Turki runtuh karena dampak Perang Dunia 
II yang dihentikan oleh Presiden Woodrow Wilson dari Amerika Serikat 
serta sekutunya seperti Prancis, Italia, Inggris, Australia dan Belanda. 
Dampak kekalahan Jepang, Jerman, Austria, Rusia, Filipina dan negara
 terjajah lainnya mengakibatkan munculnya gagasan politik demokrasi yang
 menenggelamkan Islam di kancah perpolitikan dunia.
Presiden Wilson pada 8 Januari 1918 mengisyaratkan pentingnya 
perdamaian atas nama demokrasi dan menghapus komunisme serta 
otoritarianisme (khilafah) di seluruh dunia.
Sisa-sisa politik otoriter di Irak pun kemudian dimusnahkan melalui perang di rezim Saddam Husain.
Afganistan sebagai satu-satunya teluk merah Islam dunia, secara 
radikal melakukan serangan yang terkenal dengan tragedi 11 September. 
Terakhir, pertempuran di jalur Gaza menjadikan Islam kian 
terdegradasi. Peristiwa ini juga yang mengintuisikan penembang lagu We 
Will Not Go Down, Michael Heart, menjadi muallaf.
Kini, benih-benih radikalisme yang justru menghancurkan umat Islam 
sedunia itu, kembali tumbuh di bawah payung demokrasi. Mereka menyerukan
 otoritarianisme Khilafah harus ditegakkan kembali. Ikhwanul Muslimin, 
Laskar Jihad, Hizbut Tahrir dan beberapa kelompok fundamentalisme Islam 
tersebar di mana-mana, khususnya Indonesia dan Malaysia. Mereka berupaya
 menegakkan eksistensi Islam dan cenderung frontal melawan segala 
ketidakmungkinan. Ambisi seperti inilah yang pernah ter-rekam dalam 
catatan sejarah sebagai kausal atas tumbangnya eksistensi Islam itu 
sendiri.
sumber 


0 komentar:
Posting Komentar