Cheng
Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar
Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari
Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma
Sanbao, berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan
Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah
seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku
Han, namun beragama Islam.
Dalam
Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang
menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia
berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao. Nama
itu dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po.
Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun
Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.
Saat
Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh
Dinasti Ming. Para pemuda ditawan, bahkan dikebiri, lalu dibawa ke
Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang
diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).
Di
depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan dan
keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan
militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur
tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas
lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.
Ketika
kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot
akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk
mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget
sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu.
Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera.
Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani,
kaisar oke saja.
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando
Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat
di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran
pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya,
Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi
kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut
menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan
ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika
Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan
keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai
Laut Merah.
Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat
itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh
kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah).
Pada
tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi (berkuasa
tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di
lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa
kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).
Kapal yang
ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada
abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang
(56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut
sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:
Vietnam
Taiwan
Malaka / bagian dari Malaysia
Sumatra / bagian dari Indonesia
Jawa / bagian dari Indonesia
Sri Lanka
India bagian Selatan
Persia
Teluk Persia
Arab
Laut Merah, ke utara hingga Mesir
Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik
Karena beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan para ahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal armadanya.
Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan. Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.
Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa balik berbagai penghargaan dan utusan lebih dari 30 kerajaan - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Pada saat pulang Cheng Ho membawa banyak barang-barang berharga diantaranya kulit dan getah pohon Kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain-lain) bahkan beberapa orang Afrika, India dan Arab sebagai bukti perjalanannya. Selain itu juga membawa pulang beberapa binatang asli Afrika termasuk sepasang jerapah sebagai hadiah dari salah satu Raja Afrika, tetapi sayangnya satu jerapah mati dalam perjalanan pulang.
Majalah Life menempatkan Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.
Cheng Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang pernah tercatat. Juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa hingga saat ini. Selain itu beliau adalah pemimpin yang arif dan bijaksana, mengingat dengan armada yang begitu banyaknya beliau dan para anak buahnya tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat para armadanya merapat.
Semasa di India termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal yang bernama Kallary Payatt yang mana setelah dikembangkan di negeri Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu.
Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.
Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba.
Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA.
Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar.
Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.
Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang ajalnya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya. Muslim pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India), dalam pelayaran terakhirnya.
Cheng Ho dan Indonesia
Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.
Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.
sumber klik
0 komentar:
Posting Komentar