bismillahirrohmanirrohim
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai
(1) perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)
(2) perkawinan.
Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks". Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali di Al-Quran. Secara bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".
Al-Quran juga menggunakan kata zawwaja dan kata zauwj yang berarti "pasangan" untuk makna di atas. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan. Kata tersebut dalam berbagai bentuk dan maknanya terulang tidak kurang dari 80 kali di Al-Quran.
Kata-kata ini, mempunyai implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab kabul (serah terima) pernikahan, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan" merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat ini ditegaskan oleh Al-Quran antara lain dengan firman-Nya:
Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah) (QS Al-Dzariyat [51]: 49).
Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).
Mahasuci Allah yang telah menciptakan semua pasangan, baik dari apa yang tumbuh di bumi, dan dari jenis mereka (manusia) maupun dari (makhluk-makhluk) yang tidak mereka ketahui (QS Ya Sin [36]: 36).
TUJUAN dan HIKMAH PERNIKAHAN
Kompilasi Hukum Islam merumuskan bahwa tujuan perkawinan (pernikahan) adalah "untuk mewujudkan kehidupan rumahtangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah:, yaitu rumahtangga yang tenteram, penuh kasih sayang, serta bahagia lahir dan batin.
Rumusan ini sesuai dengan firman Allah SWT :
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21)
Tujuan perkawinan tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat
biologis yang menghalalkan hubungan seksual antara kedua belah pihak,
tetapi lebih luas, meliputi segala aspek kehidupan rumah tangga, baik
lahiriah maupun batiniah.Sejalan dengan tujuannya, perkawinan memiliki sejumlah hikmah atau keuntungan bagi orang yang melakukannya. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (3, Ajaran, Perkawinan halaman 66), serta menurut Sayid Sabiq, ulama fikih kontemporer (I. Istanha, Mesir, 1915) dalam bukunya Fiqh as-Sunnah, mengemukakan sebagai berikut :
1. Dapat menyalurkan naluri seksual dengan cara sah dan terpuji.
Bagi manusia, naluri tersebut sangat kuat dan keras serta menuntut adanya penyaluran yang baik. Jika tidak, dapat mengakibatkan kegoncangan dalam kehidupannya. Dengan perkawinan, kehidupan manusia menjadi segar dan tenteram serta terpelihara dari perbuatan keji dan rendah (QS. Ar-Ruum (30) : ayat 21).
2. Memelihara dan memperbanyak keturunan dengan terhormat, sehingga dapat menjaga kelestarian hidup umat manusia.
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa' (4): ayat 1)
Allah menjadikan bagi kamu isteri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari yang baik-baik. Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (QS.
An-Nahl (16): ayat 72)
3. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan rumahtangga bersama anak-anak.
Hubungan itu akan menumbuhkan rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta saling menghargai satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang manusia. (QS.30:21, 16:72).
4. Melahirkan organisasi (tim) dengan pembagian tugas/tanggungjawab tertentu, serta melatih kemampuan bekerjasama.
Tugas intern pengaturan rumahtangga termasuk memelihara dan mendidik anak yang umumnya menjadi tugas utama isteri dan tentunya harus bekerjasama dengan suami; mencari nafkah yang menjadi kewajiban suami dapat dibantu oleh istrinya; pengelolaan keuangan yang sebaiknya menjadi bagian dari isteri, namun dengan seijin suami dalam pembelanjaannya. Ini semua meningkatkan sikap disiplin, rajin, kerja keras, syukur, sabar, dan tawakal.
5. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga sehingga memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta bahagia.
BERPASANGAN ADALAH FITRAH
Mendambakan pasangan merupakan fitrah sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Oleh karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara pria dan wanita, dan kemudian mengarahkan pertemuan itu sehingga terlaksananya "perkawinan", dan beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Quran surat Ar-Rum (30): 21. Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam/tenangnya sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah (karena perkawinan) adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.
Guna tujuan tersebut Al-Quran antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang: "Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka mampu (berkecukupan) berkat anugerah-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS An-Nur [24]: 32). Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri (menjaga kesucian dirinya), hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan" (QS An-Nur [24]: 33)
Di sisi lain perlu juga dicatat, bahwa walaupun Al-Quran menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Allah bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasul menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Quran dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan, lebih-lebih karena masyarakat kadang melakukan praktek-praktek yang berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan.
SIAPA YANG TIDAK BOLEH DINIKAHI
Al-Quran tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing. Meskipun demikian, Nabi Muhammad saw menyatakan : "Biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya (akhlaknya). Maka pilihlah yang baik agamanya (akhlaknya), niscaya kamu beruntung." (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah, dikeluarkan oleh Al-Bukhari no.5090, dan Muslim no.1466 ).
Di tempat lain, Al-Quran memberikan petunjuk, bahwa
Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini
melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki
yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).
Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26,
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang
keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan
Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki
yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
Al-Quran merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini seorang laki-laki.
Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu,
anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang
perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu
yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu
(mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang
telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan
menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang
bersuami (QS Al-Nisa' [4]: 23-24).
Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat
melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang
meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak
menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi
antar suami istri. Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut
di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang
kesemuanya harus dilindungi dari rasa berahi. Ada lagi yang memahami
larangan perkawinan antara kerabat sebagai upaya Al-Quran memperluas
hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.
PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA YANG BERBEDA
Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 221, melarang perkawinan dengan orang musyrik seperti Firman-Nya,
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. (QS.Al-Baqarah (2): 221)
Larangan serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki
musyrik.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik
(dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman (QS Al-Baqarah [2]:
221).
Namun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen), yakni surat Al-Maidah (51): ayat 5 yang menyatakan,
Dan (dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini)
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang
beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang dianugerahi Kitab (suci) sebelum kamu.(QS Al-Ma-idah [5]: 5).
Beberapa ulama menganggap izin tersebut (pada QS. Al- Maidah (5) :5)
telah digugurkan oleh surat Al-Baqarah ayat 221 tersebut di atas. Namun,
pendapat ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat Nabi dan ulama.
Mereka tetap berpegang kepada teks ayat yang membolehkan perkawinan
semacam itu, dan menyatakan bahwa walaupun aqidah Ketuhanan ajaran
Yahudi dan Kristen tidak sepenuhnya sama dengan aqidah Islam, tetapi
Al-Quran tidak menamai mereka yang menganut Kristen dan Yahudi sebagai
orang-orang musyrik.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agaknya dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga. Dengan anggapan bahwa perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena seorang Muslim mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat akidahnya dari wanita (jika beragama Islam) dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan syariat agamanya,
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-kafirun [109]: 6).
Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun Quraish Shihab cenderung berpendapat bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai "wal muhshanat minal ladzina utul kitab". Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita yang selalu menjaga kehormatannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab, sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan Kristen.
Pada akhirnya betapapun berbeda pendapat ulama tentang boleh tidaknya perkawinan Muslim dengan wanita-wanita Ahl Al-Kitab, namun seperti tulis Mahmud Syaltut dalam kumpulan fatwanya.
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah syar'iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim (berdasarkan hak kepemimpinan yang disandangnya) untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan mengawini non-Muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri.
Selanjutnya Mahmud Syaltut menegaskan bahwa kalau apa yang dilukiskan di atas tidak terpenuhi (sebagaimana sering terjadi pada masa kini) maka ulama sepakat untuk tidak membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan.
Kalau seorang wanita Muslim dilarang kawin dengan non-Muslim karena di Al-Quran juga tidak ada ayat yang mendukung diperbolehkannya hal tersebut. Ini dikarenakan kekhawatiran terhadap wanita muslim tersebut menjadi terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya. Hal ini wajar akan terjadi, karena suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri. POLIGAMI DAN MONOGAMI Sebelum masa Rosulullah saw, poligami adalah hal yang wajar dilakukan di Timur Tengah (Arab) dan beberapa negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.
Dalam lingkungan yang berpoligami, Rosulullah saw melakukan monogami bersama istri tunggalnya Khadijah binti Khuwalid ra, dan itu berlangsung selama 25 tahun, dari tahun 595 M sampai 620 M (sampai Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia). Saat menikah usia Rasulullah saw adalah 25 tahun sedangkan Khadijah binti Khuwalid ra berusia 40 th.
Pada masa perang, saat itu dibutuhkan perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang, sehingga turunlah surah An-Nisa' (4): ayat 3 menyatakan,
Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja
... (surah An-Nisa' (4): ayat 3)
Selain turun ayat tersebut, juga turun surah An-Nisa' (4): ayat 129 menyatakan,
Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, ....
(surah An-Nisa' (4): ayat 129)
Ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya suami tidak akan dapat berlaku
adil bila melakukan poligami, dan itu penegasan dari Allah SWT sendiri
melalui ayat tersebut. Namun kenapa Allah SWT tetap membuka saluran
tersebut, padahal jelas nantinya tidak dapat berlaku adil ?
Disinilah keistimewaan Agama Islam sebagai agama yang universal, karena selalu menyiapkan berbagai "saluran darurat".
Sehingga saluran poligami tetap dibuka sebagaimana surah An-Nisa ayat 3 tersebut, dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Pada tahun 620 M (tahun ke 10 kenabian Rosulullah saw) Khadijah binti Khuwalid ra meninggal dunia, dimana 3 hari sebelumnya Abi Talib (pengasuh Rasulullah saat kecil, yang juga ayah Ali bin Abi Thalib ra) meninggal dunia. Umat Islam menyebut tahun ke sepuluh kenabian Muhammad saw itu sebagai tahun kesedihan (Am al-Khuzn). Pada tahun tersebut Rasulullah juga mengalami peristiwa Isra Mikraj.
Dari perkawinan dengan Khadijah binti Khuwalid ra, Nabi saw dikaruniai dua anak laki-laki (Qasim dan Abdullah, yang dijuluki at-Tayyib dan at-Tahir) dan empat anak perempuan (Ruqayyah, Zainab, Ummu Kalsum, dan yang bungsu Fatimah). Qasim meninggal sebelum mencapai umur 2 tahun, sedangkan Abdullah meninggal dalam usia lebih muda lagi. Anak-anak Nabi saw yang masih hidup perempuan semua.
Sepintas mengenai perkawinan anak-anak Nabi Muhammad saw diuraikan berikut ini.
Zainab menikah dengan Abul As bin Rabi' bin Abdul Syams. Ruqayyah dan Ummu Kalsum masing-masing menikah dengan Utbah dan Utaibah, keduanya anak-anak Abu Lahab. Sesudah kedatangan Islam, Abu Lahab memerintahkan kedua anaknya untuk menceraikan kedua putri Muhammad saw tersebut. Tentu saja Nabi saw cukup sedih dengan kejadian ini. Nabi saw baru terhibur ketika Ruqayyah kemudian dikawini oleh Usman bin Affan, meskipun Ummu Kalsum (adik Ruqayyah) harus menjanda sampai berakhirnya Perang Badr. Setelah Ruqayyah wafat, kemudian Usman bin Affan menikah dengan Ummu Kalsum. Adapun putri bungsu Rasulullah saw, Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Talib.
Anak-anak Nabi Muhammad saw sempat mengalami kedatangan Islam dan mereka memeluk Agama Islam serta ikut hijrah ke Madinah. Kecuali Fatimah, semua anak-anaknya meninggal semasa Muhammad saw masih hidup, Fatimah sendiri meninggal 6 bulan setelah Nabi Muhammad saw wafat.
Sejak Istri Rasulullah saw, Khadijah binti Khuwalid ra wafat, Khalwah istri Usman bin Makhzum memperhatikan berbagai kebutuhan anggota keluarga Nabi saw.
Tahun 623 M (setelah 3 tahun Rasulullah saw menduda), Khalwah menganjurkan Nabi saw agar menikah lagi. Saat itu Muhammad bertanya siapa yang harus ia nikahi ?. Khalwah menyarankan Saudah binti Zam'ah, janda Sakran Umar al-Amiri, seorang sahabat yang pernah membawanya ke Habasyah. Suami-istri Sakran-Saudah termasuk kelompok pengungsi pertama yang pulang kembali ke Mekah dari Habasya, dan Sakran meninggal tidak lama setelah itu.
Karena suaminya (Sakran) meninggal, maka Saudah tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke keluarga setelah ditinggal mati suaminya. Keluarga Saudah belum masuk Islam, sehingga apabila Saudah kembali ke-keluarganya, maka ia akan disiksa seperti dialami orang-orang muslim lain yang tidak memiliki perlindungan. Maka Nabi Muhammad saw menyetujui usulan Khalwah untuk menikahi Saudah agar menjadi terlindungi sekaligus terbebaskan dan tidak mengalami penderitaan.
Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 108-179). Poligami yang dilakukan Nabi saw untuk melindungi sekaligus membebaskan wanita-wanita tersebut. Realitas bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Hampir seluruh Istri Nabi adalah janda yang ditinggal mati suaminya untuk dilindungi sekaligus dibebaskan, kecuali Aisyah binti Abu Bakar ra.
Dengan menelusuri kitab Jami' al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), dapat ditemukan bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu.
Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar'i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat untuk memberi perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim serta tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).
Dalam sebuah ungkapan Nabi saw menyatakan: "Barangsiapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Teks-teks hadist terkait poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Namun banyak ulama "cerdik" yang menyelewengkannya dengan hanya mengambil sepotong-sepotong teks untuk pembenaran perbuatannya atau pembenaran perbuatan beberapa orang tertentu yang berpengaruh baginya.
Nabi Muhammad saw dengan sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra, dan teks hadis ini jarang disampaikan sebagian ulama, padahal teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah, berikut ini.
Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Terlepas dari hukum-hukum dalam Agama Islam, kondisi jumlah laki-laki dengan perempuan saat ini cukup mengkawatirkan. Karena sejak tahun 2001, jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan, terutama di Timur Tengah dan beberapa negara asia yang "dulunya" menganggap anak laki-laki lebih berharga dibandingkan anak perempuan, serta yang "dulunya" menganggap poligami adalah hal yang lumrah. Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah Allah SWT sedang menghukum (menyadarkan) sebagian masyarakat di negara-negara tersebut ? Maha Suci, Maha Adil, Maha Benar, dan Maha Mengetahui Allah SWT.
Untuk melihat data statistik jumlah penduduk (laki-laki dan perempuan) masing-masing negara di Dunia, silakan klik di bawah ini :
SYARAT SAH PERNIKAHAN
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan atau syarat, yang dipahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi saw.
Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab lain; bukan di sini tempatnya untuk diuraikan.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan 'iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi, sebagaimana disebutkan di atas.
Wali dari pihak calon suami tidak diperlukan, tetapi wali dari pihak calon istri dinilai mutlak keberadaan dan izinnya oleh banyak ulama berdasar sabda Nabi saw : "Tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali".
Al-Quran mengisyaratkan hal ini dengan firman-Nya yang ditujukan kepada para wali:
... Janganlah kamu (hai para wali) menghalangi mereka
(wanita yang telah bercerai) untuk kawin (lagi) dengan bakal suaminya,
jika terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf (QS
Al-Baqarah [2]: 232).
Menurut sementara ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Maliki,
"Seandainya mereka tidak mempunyai hak kewalian, maka larangan ayat di
atas tidak ada artinya,"
Ada juga ulama lain semacam Abu Hanifah, Zufar, Az-zuhri dan lain-lain yang berpendapat bahwa apabila seorang wanita menikah tanpa wali maka nikahnya sah, selama pasangan yang dikawininya sekufu' (setara) dengannya. Mereka yang menganut paham ini berpegang pada isyarat Al-Quran:
Apabila telah habis masa iddahnya (wanita-wanita yang
suaminya meninggal), maka tiada dosa bagi kamu (hai para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut (QS
Al-Baqarah [2): 234).
Ayat di atas, menurut penganut paham ini, mengisyaratkan hak wanita
bebas melakukan apa saja yang baik (bukan sekadar berhias, bepergian,
atau menerima pinangan) sebagaimana pendapat yang mengharuskan adanya
wali, tetapi termasuk juga menikahkan diri mereka tanpa wali. Di samping
itu, kata penganut paham ini, Al-Quran juga (dan bukan hanya sekali)
menisbahkan aktivitas menikah bagi para wanita, seperti misalnya
firman-Nya,
Sampai dia menikah dengan suami yang lain (QS Al-Baqarah [2]: 230).
Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas yang dijadikan alasan oleh
mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para
janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima maka ketiadaan
wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas.
Menurut Quraish Shihab adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan.
Hal kedua yang dituntut bagi terselenggaranya pernikahan yang sah adalah saksi-saksi.
Quraish Shihab tidak menemukan hal ini disinggung secara tegas oleh Al-Quran, tetapi sekian banyak hadis menyinggungnya. Kalangan ulama pun berbeda pendapat menyangkut kedudukan hukum para saksi. Imam Abu Hanifah, Syafi'i, dan Maliki mensyaratkan adanya saksi-saksi pernikahan, hanya mereka berbeda pendapat apakah kesaksian tersebut merupakan syarat kesempurnaan pernikahan yang dituntut. Sebelum pasangan suami istri "bercampur" (berhubungan seks) atau syarat sahnya pernikahan, yang dituntut kehadiran mereka saat akad nikah dilaksanakan.
Betapapun perbedaan itu, namun para ulama sepakat melarang pernikahan yang dirahasiakan, berdasarkan perintah Nabi untuk menyebarluaskan berita pernikahan. Bagaimana kalau saksi-saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan itu? Imam Syafi'i dan Abu Hanifah menilainya sah-sah saja, sedang Imam Malik menilai bahwa syarat yang demikian membatalkan pernikahan {fasakh). Perbedaan pendapat ini lahir dari analisis mereka tentang fungsi para saksi, apakah fungsi mereka keagamaan, atau semata-mata tujuannya untuk menutup kemungkinan adanya perselisihan pendapat. Demikian penjelasan Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayat Al-Mujtahid.
Dalam konteks ini terlihat betapa pentingnya pencatatan pernikahan yang ditetapkan melalui undang-undang, namun di sisi lain pernikahan yang tidak tercatat selama ada dua orang saksi-tetap dinilai sah oleh agama. Bahkan seandainya kedua saksi itu diminta untuk merahasiakan pernikahan yang disaksikannya itu, maka pernikahan tetap dinilai sah dalam pandangan pakar hukum Islam Syafi'i dan Abu Hanifah.
Namun demikian, menurut Quraish Shihab, dalam konteks keindonesiaan, walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama, namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum Allah. Dalam hal pencatatan tersebut, sangat sejalan dengan semangat Al-Quran.
Hal ketiga dalam konteks perkawinan adalah mahar.
Secara tegas Al-Quran memerintahkan kepada calon suami untuk membayar mahar.
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang
kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan (QS Al-Nisa' [4]:
4).
Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon
istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin
itu bersifat lambang, maka sedikit pun jadilah. Bahkan: Sebaik-baik mas kawin adalah seringan-ringannya, begitu sabda Nabi saw.
Walaupun Al-Quran tidak melarang untuk memberi sebanyak mungkin mas
kawin (QS Al-Nisa' [4]: 20). Ini karena pernikahan bukan akad jual beli,
dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-Quran, suami tidak
boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri merelakannya.
apakah kalian (hai para suami) akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan menanggung dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali padahal sebagian kamu (suami atau istri) telah melapangkan (rahasianya/bercampur) dengan sebagian yang lain (istri atau suami) dan mereka (para istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang amat kokoh (QS Al-Nisa' [4]: 20-2l).
Agama menganjurkan agar mas kawin merupakan sesuatu yang bersifat materi, karena itu bagi orang yang tidak memilikinya dianjurkan untuk menangguhkan perkawinan sampai ia memiliki kemampuan. Tetapi kalau oleh satu dan lain hal, ia harus juga kawin, maka cincin besi pun jadilah.
Carilah walau cincin dari besi, begitu sabda Nabi saw. Kalau ini pun tidak dimilikinya sedang perkawinan tidak dapat ditangguhkan lagi, baru mas kawinnya boleh berupa mengajarkan beberapa ayat Al-puran. Rasulullah pernah bersabda : "Telah saya kawinkan engkau padanya dengan apa yang engkau miliki dari Al-Quran". (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Sahal bin Sa'ad).
Adapun ijab dan kabul pernikahan, maka ia pada hakikatnya adalah ikrar dari calon istri, melalui walinya, dan dari calon suami untuk hidup bersama seia sekata, guna mewujudkan keluarga sakinah, dengan melaksanakan segala tuntunan dari kewajiban. Ijab seakar dengan kata wajib, sehingga ijab dapat berarti atau paling tidak mewujudkan suatu kewajiban, yakni berusaha sekuat kemampuan untuk membangun satu rumah tangga sakinah. Penyerahan disambut dengan qabul (penerimaan) dari calon suami.
Untuk menguatkan ikrar, maka serah terima itu dalam pandangan Imam Syafi'i tidak sah kecuali jika menggunakan apa yang diistilahkan oleh Nabi saw dengan Kalimat Allah, yaitu dengan sabdanya: "Hubungan seks kalian menjadi halal atas dasar kalimat Allah".
Kalimat Allah yang dimaksud adalah kedua lafaz (kata) nikah dan zawaj (kawin) yang digunakan Al-Quran.
Imam Malik membolehkan juga kata "memberi" sebagai terjemahan dari kata wahabat sebagaimana disinggung pada pendahuluan. Ulama-ulama ini tidak menilai sah lafaz ijab dan kabul yang mengandung "kepemilikan", "penganugerahan", dan sebagainya, karena kata-kata tersebut tidak digunakan Al-Quran sekaligus tidak mencerminkan hakikat hubungan suami istri yang dikehendaki oleh-Nya. Hubungan suami istri bukanlah hubungan kepemilikan satu pihak atas pihak lain, bukan juga penyerahan diri seseorang kepada suami, karena itu sungguh tepat pandangan yang tidak menyetujui lafaz mahabat (penganugerahan) digunakan dalam akad pernikahan. Hubungan tersebut adalah hubungan kemitraan yang diisyaratkan oleh kata zauwj yang berarti pasangan. Suami adalah pasangan istri, demikian pula sebaliknya. Kata ini memberi kesan bahwa suami sendiri belum lengkap, istri pun demikian. Persis seperti rel kereta api, bila hanya satu rel saja kereta tak dapat berjalan, atau katakanlah bagaikan sepasang anting di telinga, bila hanya sebelah maka ia tidak berfungsi sebagai perhiasan.
Mengawinkan pria dan wanita adalah menghimpunnya dalam satu wadah perkawinan, sehingga wajar jika upaya tersebut dilukiskan oleh Al-Quran dengan menggunakan kata "menikah" yang pengertian kebahasaannya seperti dikemukakan pada pendahuluan adalah "menghimpun".
Serah terima perkawinan dilakukan dengan kalimat Allah yang sifatnya demikian, agar calon suami dan istri menyadari betapa suci peristiwa yang sedang mereka alami. Dan dalam saat yang sama mereka berupaya untuk menjadikan kehidupan rumah tangga mereka dinaungi oleh makna-makna kalimat itu: kebenaran, keadilan, langgeng tidak berubah, luhur penuh kebajikan, dan dikaruniai anak yang saleh, yang menjadi panutan, pandai menahan diri, serta menjadi orang terkemuka di dunia dan di akhirat lagi dekat kepada Allah.
TALI-TEMALI PEREKAT PERNIKAHAN
Cinta, mawaddah, rahmah dan amanah Allah, itulah tali temali rohani perekat perkawinan, sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah putus, masih ada rahmat, dan kalau pun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara.
Mawaddah, tersusun dari huruf-huruf m-w-d-d-, yang maknanya berkisar pada kelapangan dan kekosongan. Mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai, sesekali hatinya kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemai dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan, seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin (yang mungkin datang dari pasangannya). Begitu lebih kurang komentar pakar Al-Quran Ibrahim Al-Biqa'i (1480 M) ketika menafsirkan ayat yang berbicara tentang mawaddah.
Rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya.
Al-Quran menggarisbawahi hal ini dalam rangka jalinan perkawinan karena betapapun hebatnya seseorang, ia pasti memiliki kelemahan, dan betapapun lemahnya seseorang, pasti ada juga unsur kekuatannya. Suami dan istri tidak luput dari keadaan demikian, sehingga suami dan istri harus berusaha untuk saling melengkapi.
Pernikahan adalah amanah, digarisbawahi oleh Rasul saw dalam sabdanya : "Kalian menerima istri berdasar amanah Allah".
Amanah adalah sesuatu yang diserahkan kepada pihak lain disertai dengan rasa aman dari pemberinya karena kepercayaannya bahwa apa yang diamanatkan itu, akan dipelihara dengan baik, serta keberadaannya aman di tangan yang diberi amanat itu.
Kesediaan seorang istri untuk hidup bersama dengan
seorang lelaki, meninggalkan orang-tua dan keluarga yang membesarkannya,
dan "mengganti" semua itu dengan penuh kerelaan untuk hidup bersama
lelaki "asing" yang menjadi suaminya, serta bersedia membuka rahasianya
yang paling dalam. Semua itu merupakan hal yang sungguh mustahil,
kecuali jika ia merasa yakin bahwa kebahagiannnya bersama suami akan
lebih besar dibanding dengan kebahagiaannya dengan ibu bapak, dan
pembelaan suami terhadapnya tidak lebih sedikit dari pembelaan
saudara-saudara sekandungnya. Keyakinan inilah yang dituangkan istri
kepada suaminya dan itulah yang dinamai Al-Quran mitsaqan ghalizha (perjanjian yang amat kokoh) (QS Al-Nisa' [4): 21).
SUAMI ADALAH PEMIMPIN KELUARGA
Keluarga, atau katakanlah unit terkecil dari keluarga adalah suami dan istri, atau ayah, ibu, dan anak, yang bernaung di bawah satu rumah tangga. Unit ini memerlukan pimpinan, dan dalam pandangan Al-Quran yang wajar memimpin adalah bapak.
Kaum lelaki (suami) adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri) (QS Al-Nisa' [4]: 34).
Ada dua alasan yang dikemukakan lanjutan ayat di atas berkaitan dengan pemilihan ini, yaitu:
a. Karena Allah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan
b. Karena mereka (para suami diwajibkan) untuk menafkahkan sebagian dari harta mereka (untuk istri/keluarganya).
Istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi suami, mempunyai satu derajat kelebihan atas istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". (QS Al-Baqarah [2]: 228).
Derajat itu adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri. Karena itu, tulis Syaikh Al-Mufasirin (Guru besar para penafsir) Imam Ath-Thabari, "Walau ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu."
Imam Al-Ghazali menulis, "Ketahuilah bahwa yang dimaksud dengan perlakuan baik terhadap istri, bukanlah tidak mengganggunya, tetapi bersabar dalam kesalahannya, serta memperlakukannya dengan kelembutan dan maaf, saat ia menumpahkan emosi dan kemarahannya."
Keberhasilan perkawinan tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Tentu saja hal tersebut banyak, antara lain bahwa suami bagaikan presiden sedang istri bagaikan perdana menteri, dan dalam kedudukannya seperti itu, suami berkewajiban untuk memperhatikan hak dan kepentingan istrinya.
Istri pun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain perempuan mempunyai hak terhadap suaminya untuk mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi. Demikian lebih kurang tulis Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi.
Sekali lagi, kepemimpinan tersebut adalah keistimewaan tetapi sekaligus tanggung jawab yang tidak kecil.
Kalau titik temu dalam musyawarah tidak diperoleh, sehingga keretakan hubungan dikhawatirkan terjadi, maka barulah keluar kamar menghubungi orang-tua atau orang yang dituakan untuk meminta nasihatnya, atau bahkan barulah diharapkan campur tangan orang bijak untuk menyelesaikannya. Dalam konteks ini Al-Quran berpesan,
Jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka utuslah seorang hakam (juru damai) dari keluarga
laki-laki, dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya
(suami istri dan para hakam) ingin mengadakan perbaikan, niscapa Allah
memberi bimbingan kepada keduanya (suami istri). Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al-Nisa' [4]: 35).
WALIMAH (Pesta Pernikahan)
Walimah (walimatul-'ursy) adalah pesta pernikahan, yaitu upacara
perjamuan makan yang diadakan sewaktu atau sesudah pernikahan
dilangsungkan. Inti upacara tersebut adalah untuk memberitahukan dan merayakan pernikahan yang dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur dan kebahagiaan keluarga. Dalam walimah, diundang kerabat dekat dan tetangga serta handai tolan.
Menurut jumhur ulama Malikiyah, Hanabilah, dan sebagian ulama Syafi'iyah, mengadakan walimah itu sunah mu'akkad (sangat dianjurkan) hukumnya. Ketika Rasulullah saw melihat upacara pernikahan, beliau berkata, "Semoga Allah memberkatimu. Adakanlah walimah meskipun dengan seekor kambing" (HR. Bukhari-Muslim). Hadist dari Buraidah, ia mengatakan ketika Ali melamar Fatimah, Rosulullah saw bersabda, "Sesungguhnya mesti, untuk perkawinan ada walimahnya". (HR. Ahmad).
Mengenai hukum memenuhi undangan untuk menghadiri walimah (pesta pernikahan), terdapat perbedaan diantara ulama. Menurut ulama Hanafiyah, memenuhi undangan walimah hukumnya sunah. Sedangkan menurut jumhur termasuk ulama Malikiyah, sebagian Mazhab Syafi'i dan Hanbali, hukumnya wajib 'ain bila tidak ada halangan.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar