Pada dasarnya, perbuatan onani itu mirip dengan ‘azl, dari sisi sama-sama menumpahkan sperma di luar rahim.
Para ‘ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum ‘azl. Sebagian ulama, yakni kalangan madzhab Dzahiri mengharamkan ‘azl secara mutlak. Mereka
berdalih dengan sebuah hadits riwayat Judzamah binti Wahab, bahwa ada
beberapa orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang ‘azl, beliau saw
menjawab:
“Yang demikian itu adalah penguburan bayi hidup-hidup secara samar.”[HR. Imam Ahmad dan Muslim]
Namun demikian, Imam Ghazali menyanggah pendapat mereka, dan berkata, “Ada beberapa riwayat shahih yang membolehkan ‘azl”. Adapun
maksud sabda Rasulullah saw,”..adapun demikian itu adalah penguburan
bayi hidup-hidup secara samar,” sama dengan sabda Rasulullah saw,
“sebagai syirik yang samar.” Oleh karena itu, hukum ‘azl adalah makruh, bukan haram. Yang dimaksud dengan makruh di sini –menurut al-Ghazali—adalah sesuatu yang menyalahi kebiasaan yang baik.
Sebagian
‘ulama dari Madzhab Hanafi membolehkan ‘azl diperbolehkan (mubah) jika
isterinya menyetujui, dan makruh jika isteri tidak memberikan
persetujuannya. [Imam Syaukani, Nail al-Authar, juz 6/322]. Sedangkan Imam Syafi’iy berpendapat, bahwa ‘azl boleh dilakukan meskipun tidak diijinkan oleh isteri.
‘Ulama-ulama
lain, dari kalangan shahabat, misalnya, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu
;Abbas, ‘Umar , dan Ali ra membolehkan ‘azl dan menganggapnya bukan
sebagai penguburan janin. Sedangkan para ulama madzhab yang membolehkan ‘azl adalah Imam Syafi’I, Imam Malik, dan lain sebagainya.
Adapun riwayat-riwayat yang membolehkan ‘azl adalah sebagai berikut; dari Jabir ra dituturkan, bahwasanya ia berkata:
كُنَّا
نَعْزِلُ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ وَعَنْ عَمْرٍو عَنْ عَطَاءٍ عَنْ جَابِرٍ
قَالَ كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَالْقُرْآنُ يَنْزِلُ
“Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah saw, sedangkan al-Quran masih turun.”[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Imam Muslim juga meriwaykan sebuah hadits, dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwasanya ia berkata:
كُنَّا
نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَلَغَ ذَلِكَ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمْ يَنْهَنَا
“Kami melakukan ‘azl di masa Rasulullah saw. Lalu, kami menyampaikan hal itu kepada Nabi saw, dan beliau tidak melarangnya.”[HR. Muslim]
Imam Turmudziy juga mengetengahkan sebuah riwayat dari Jabir bin ‘Abdullah, bahwasanya ia berkata, ”
قُلْنَا
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا نَعْزِلُ فَزَعَمَتْ الْيَهُودُ
أَنَّهَا الْمَوْءُودَةُ الصُّغْرَى فَقَالَ كَذَبَتْ الْيَهُودُ إِنَّ
اللَّهَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَخْلُقَهُ فَلَمْ يَمْنَعْهُ قَالَ وَفِي
الْبَاب عَنْ عُمَرَ وَالْبَرَاءِ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ
“Kami
mengatakan kepada Rasulullah saw, bahwa kami melakukan ‘azl, dan
orang-orang Yahudi menganggapnya sebagai penguburan bayi hidup-hidup. Kemudian
beliau saw berkata, “Orang-orang Yahudi itu telah berbohong,
sesungguhnya jika Allah hendak menciptakannya, maka Ia tidak akan
mencegahnya.” Hadits semacam ini juga diriwayatkan oleh ‘Umar, al-Bara’, Abu Hurairah, dan Abu Sa’iid.
Pensyarah Sunan Turmudziy, Imam Mubarakfuriy menyatakan, “Hadits ini adalah menjadi dalil bagi ‘ulama yang membolehkan ‘azl.”[Imam Mubarakfuriy, Tufhat al-Ahwadziy, hadits no.1055].
Tarjih Terhadap Dalil
Memang, ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Jadzîmah binti Wahab al-Asadiyyah yang melarang ‘azl.:
Rasulullah saw. pernah hadir di tengah-tengah orang banyak seraya bersabda, “Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk melarang ghîlah
(menggauli istri yang masih dalam masa menyusui anaknya). Aku kemudian
mengamati orang-orang Persia dan Romawi, ternyata mereka pun melakukan ghîlah, tetapi toh hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sama sekali.”
Para sahabat kemudian bertanya tentang masalah ‘azl. Beliau kemudian menjawab, “‘Azl adalah tindakan pembunuhan secara samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. (QS at-Takwîr [81]: 8).”
Hadis ini bertentangan dengan sejumlah hadis sahih lain yang secara gamblang membolehkan ‘azl.
Dalam hal ini, jika ada hadis yang bertentangan dengan hadis-hadis lain
yang lebih banyak, maka hadis-hadis yang banyak itulah yang lebih râjih
(lebih valid) dibandingkan dengan yang sedikit. Atas dasar ini, hadis
yang bersumber dari Jadzîmah binti Wahab al-Asadiyyah tersebut tertolak,
karena bertentangan dengan bebarapa hadis lain yang lebih kuat dan
lebih banyak jalur periwayatannya.
Tidak juga bisa dikatakan bahwa dengan metode penggabungan (tharîq al-jam‘i) antara hadis tersebut dengan hadis-hadis yang membolehkan ‘azl, hadis tersebut berarti menunjukkan pada makruhnya ‘azl.
Metode
penggabungan hadis hanya mungkin dilakukan jika tidak ada
kontradiksi—yakni berupa penolakan Rasulullah saw. yang terdapat dalam
hadis lain—dengan pengertian yang sama yang ditunjukkan oleh hadis
tersebut. (Artinya, terdapat penolakan Rasulullah pada hadis kedua,
sedangkan dalam beberapa hadis lainnya larangan itu tidak ditemukan, pen). Sebab, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abû Dâwud yang bersumber dari Abû Sa‘îd bunyinya adalah demikian:
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyatakan bahwa ‘azl adalah tindakan pembunuhan keci.” Beliau kemudian menjawab, “Orang-orang Yahudi itu telah berdusta.”
Sementara itu, hadis Jadzîmah berbunyi demikian:
“‘Azl adalah tindakan pembunuhan secara samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. (QS at-Takwîr [81]: 8).”
Dengan
demikian, upaya penggabungan kedua hadis ini tidak mungkin dilakukan.
Boleh jadi, salah satu hadis di atas sudah dihapus (mansûkh)
atau salah satunya lebih kuat sehingga hadis lain yang lebih lemah
tertolak. Hanya saja, sejarah kedua hadis itu tidak cukup dikenal.
Sementara itu, hadis yang dituturkan oleh Abû Sa‘îd didukung oleh
sejumlah hadis lain yang cukup banyak, sedangkan hadis yang dituturkan
oleh Jadzîmah hanya satu, tidak diperkuat oleh hadis-hadis lain. Oleh
karena itu, hadis yang dituturkan oleh Jadzîmah adalah tertolak,
sementara hadis lain yang lebih kuat ketimbang hadis tersebut dipandang
lebih râjih (lebih valid).
Walhasil, secara mutlak, ‘azl dibolehkan, bukan sesuatu yang makruh; apa pun motif atau tujuan orang melakukannya. Sebab, dalil-dalil tentang kebolehan ‘azl sifatnya umum. Seorang suami yang ingin melakukan ‘azl
tidak perlu meminta izin istrinya, karena perkara ini bergantung pada
suami, bukan pada istri. Dalam hal ini, tidak dapat dikatakan bahwa,
karena persetubuhan (jima’) sesungguhnya adalah juga hak
seorang istri, maka air mani (sperma) menjadi hak istri, sehingga suami
tidak boleh menumpahkan spermanya di luar vagina istrinya tanpa
seizinnya. Kesimpulan semacam ini didasarkan pada upaya mencari ‘illat dengan metode rasionalisasi (‘illat ‘aqliyyah), bukan didasarkan pada metode syar‘î, sehingga tidak memiliki nilai apa-apa, bahkan tertolak. Memang benar, jima’
merupakan hak istri, tetapi penumpahan air mani bukanlah haknya. Salah
satu alasannya adalah bahwa, seorang suami yang impoten, jika memang
telah berusaha menyetubuhi istrinya, tetapi spermanya tidak dapat
terpancar, maka hak istri dianggap telah terpenuhi dengan telah
terjadinya persetubuhan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, istri tidak
berhak untuk melakukan faskh (membatalkan pernikahannya).
Memang, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah yang bersumber dari ‘Umar ibn al-Khaththâb. Ia bertutur demikian:
Rasulullah saw. telah melarang ‘azl terhadap wanita merdeka, kecuali dengan izinnya.
Hadis ini dha‘îf (lemah), karena dalam rangkaian sanad-nya terdapat Ibn Luhaiah. Ada catatan negatif tentang orang ini.
Walhasil, atas dasar semua ini, hadis-hadis mengenai kebolehan ‘azl tetap bersifat mutlak.
Hukum ‘azl
dapat diterapkan pada hukum penggunaan obat (pil KB, misalnya), kondom,
atau spiral untuk mencegah kehamilan. Semua ini termasuk perkara yang
sama, karena dalil-dalil tentang kebolehan ‘azl relevan dengan
tujuan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Ini adalah satu masalah di
antara sejumlah masalah yang ada. Sebab, hukumnya adalah menyangkut
kebolehan seorang suami untuk melakukan upaya pencegahan kehamilan, baik
dengan cara melakukan ‘azl atau dengan cara yang lainnya.
Dalam hal ini, apa yang telah diperbolehkan bagi seorang suami adalah
berlaku juga bagi istrinya, karena hukumnya terkait dengan kebolehan
mencegah kehamilan dengan menggunakan sarana (alat) apa saja.
Kesimpulan
. Hukum ‘azl juga bisa diberlakukan pada konteks onani, jika dipandang sama-sama menumpahkan sperma. Jika
demikian, maka hukum onani adalah boleh secara mutlak tanpa
memperhatikan lagi maksud dan tujuan dari onani tersebut, seperti halnya
kebolehan ‘azl secara mutlak. Tidak bisa dinyatakan, bahwa onani bisa melemahkan otak dan jasmani, oleh karena itu ia berhukum makruh. Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, onani tidak terbukti secara medis akan melemahkan otak dan jasmani. Atas dasar itu, hukum onani tetap mubah secara mutlak. Wallahu a’lam bi al-shawab
0 komentar:
Posting Komentar