Tak ada data yang valid terkait asal-usul penggunaan istilah Zawiyah.
Tetapi, menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, perkembangan institusi zawiyah dalam sejarah Islam selaras dengan dinamika yang dialami dunia tasawuf.
Secara bahasa, kata zawiyah, seperti dinukilkan dari kamus “Lisan al-Arab”, merujuk kata zaiyah sebagai tempat yang terketak di Kota Basrah, Irak, tempat kelompok-kelompok sufi yang awal dibangun.
Dalam kamus lain seperti “Mu’jam al-Wasith”, disebutkan zawiyah diartikan dengan tempat penampungan bagi sufi dan kaum miskin.
Ini sesuai dengan kebutuhan kaum sufi akan wadah untuk berkumpul seiring laju pesat perkembangan sufi di abad ke-8 hingga ke-13 Masehi. Penyebaran tarikat tersebut berpengaruh pula pada melonjaknya jumlah zawiyah di sebagian besar negara Muslim, bahkan di desa-desa terpencil sekalipun.
Zawiyah memiliki bentuk-bentuk yang sangat beragam. Misalnya, ada zawiyah yang diidentikkan dengan makam orang suci. Bentuk bangunannya dapat berupa tembok setinggi beberapa desimeter hingga monumen yang megah.
Ini seperti makam suci orang Aljazair, Sidi Bu Madyan, Usuman, dan Fodia di Negeria Utara, dan makam Dizhamuddin Auliya yang ada di Delhi, India.
Ada beberapa fungsi zawiyah yang telah berlaku sepanjang sejarah. Yang pertama ialah sebagai tempat beribadah. Zawiyah digunakan sebagaimana layaknya masjid tempat menunaikan shalat lima waktu dan seperti pondok tempat para pengikut tarekat tertentu untuk melakukan ritual zikir khusus di tarekat.
Selain difungsikan untuk pelaksanaan ibadah, zawiyah juga dipakai dalam upacara pemakaman. Mulai dari prosesi memandikan jenazah hingga menshalatinya.
Sedangkan fungsi horizontal zawiyah, antara lain, adalah wadah pelaksanaan kegiataan sosial keagamaan.
Terkadang, tempat tersebut digunakan juga untuk kegiatan perekonomian.
Fungsi lainnya ialah zawiyah dipakai untuk unit organisasi politik keagamaan. Ini sebagaimana yang ditunjukkan oleh tarekat Sanusiyah oleh Muhammad al-Sanusi (1792-1859).
Tarekat yang didirikan oleh tokoh asal Aljazair itu merupakan contoh yang mendatangkan perbaikan. Ia memilih sebagai tempat menetapnya Oasis Jaghbub di Cyrenaica, yang kemudian dikenal sebagai lokasi Universitas Islam kedua di Afrika setelah al-Azhar, Mesir. Pada akhirnya, ia memiliki 146 zaiyah yang tersebar di Libia, Mesir, Cad, dan Arab Saudi.
Sayangnya, dewasa ini keberadaan zawiyah dianggap kurang penting. Ini diakibatkan oleh banyak faktor, antara lain, transformasi sosial dan ekonomi negara-negara Muslim, urbanisasi, dan perluasan sistem komunikasi yang memunculkan lembaga-lembaga baru sebagai pesaing.
Di Aljazair, Tunisia, dan Libia, misalnya, penjajah Prancis mengambil alih badan-badan wakaf dan memengaruhi keberadaan zawiyah.
Kemunduran zawiyah tak melulu dipicu oleh faktor eksternal. Munculnya aliran skriptualis dan fundamentalis, khususnya awal abad ke-18, berkonstribusi pada terkikis nya sendi-sendi zawiyah, tak terkeculi pula menghambat pergerakan tasawuf.
Ini salah satunya terlihat dari gerakan Wahabi yang diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792).
sumber republika
0 komentar:
Posting Komentar