SULTAN SHALAHUDDIN AL-AYYUBI, namanya telah terpatri di hati sanubari Kaum Muslimin yang memiliki jiwa patriotik dan heroik, telah terlanjur terpahat dalam sejarah perjuangan umat Islam karena telah mampu menyapu bersih, menghancurleburkan Tentara Salib yang merupakan gabungan pilihan dari seluruh Benua Eropa. Maka sudah sepantasnya kita membicarakan tentang beliau dalam satu bab tersendiri. Sebab, apabila disebutkan tentang Perang Salib, maka nama beliau tidak akan terlupakan sebagai pahlawan perang dari pihak Islam yang paling berjasa.
Salahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub atau Salah ad-Din (Bahasa Arab: الأيوبيصلاح الدين, Kurdi: صلاح الدین ایوبی) (Sho-lah-huud-din al-ay-yu-bi) atau Saladin (biasa disebut oleh orang Barat) (1137 – 4 Maret 1193) adalah seorang jendral dan pejuang Muslim Kurdi dari Tikrit (daerah Utara Irak saat ini). Ia mendirikan Dinasty Ayyubiyah di Mesir yang wilayah kekuasaannya meliputi Suriah, sebagian Yaman, Irak, Hijaz dan Diyar Bakr.Salahuddin terkenal di dunia Muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, dan sifatnya yang kesatria, bijaksana dan pengampun pada saat ia berperang melawan Tentara Salib. Jarang sekali dunia menyaksikan sikap patriotik dan heroik bergabung menyatu dengan sifat perikemanusian seperti yang terdapat dalam diri pejuang besar ini. Rasa tanggung jawab terhadap agama Islam telah ia baktikan dan buktikan dalam menghadapi serbuan Tentara Salib ke Tanah Suci Palestina selama dua puluh tahun, dan akhirnya dengan kegigihan, keampuhan dan kemampuannya dapat memukul mundur tentara Eropa di bawah pimpinan Richard The Lionheart dari Inggris. Disamping sebagai panglima perang, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi juga adalah seorang ulama, beliau banyak memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud.
Latar Belakang
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi. Ayahnya Najmuddin Ayyub dan pamannya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M yaitu sekitar hampir empat puluh tahun kaum Salib menduduki Baitul Maqdis, ketika ayahnya menjadi penguasa Saljuk di Tikrit. Saat itu, baik ayah maupun pamannya mengabdi kepada Imaduddin Zanky, Atabek (gubernur) Kerajaan Saljuk untuk kota Mousul, Irak. Pendidikan dari ayah dan pamannya ini telah memberi andil yang tidak kecil dalam membentuk kepribadian Shalahuddin.
Ketika Imaduddin Zanky berhasil merebut wilayah Balbek, Lebanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek dan menjadi pembantu dekat Penguasa Syiria (Suriah) Nuruddin Mahmud (Nuruddin Zanky). Selama di Balbek inilah Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, maupun politik. Setelah Damaskus dikuasai Nuruddin Zanky, beliau melanjutkan pendidikannya di sana untuk mempelajari agama Islam Sunni selama sepuluh tahun.
Dari usia belasan tahun Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan Tentara Salib atau menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan Nuruddin Mahmud. Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pada tahun 549 H/1154 M maka keduanya ayah dan anak ini telah menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada pemimpinnya.
Dalam tiga pertempuran di Mesir bersama-sama pamannya, Asaduddin Syirkuh melawan Tentara Salib, beliau dan pamannya berhasil mengusir mereka dari Mesir pada tahun 559-564 H/ 1164-1168 M.
Mencapai Kekuasaan
Paman Shalahuddin, Asaduddin Syirkuh adalah seorang jenderal yang gagah berani, beliau merupakan komandan Angkatan Perang Syiria yang telah memukul mundur Tentara Salib baik di Syiria maupun di Mesir. Syirkuh memasuki Mesir pada bulan Februari 1167 M dan menghadapi perlawanan Shawar, seorang Wazir (Perdana Menteri) Khalifah Fathimiyah yang menggabungkan diri dengan Tentara Salib Perancis dari Kerajaan Yerussalem. Hal ini terjadi karena Shawar merasa cemburu terhadap Syirkuh yang semakin populer dikalangan istana maupun masyarakat.
Dengan diam-diam Shawar pergi ke Baitul Maqdis dan meminta bantuan dari Pasukan Salib untuk menghalau Syirkuh berkuasa di Mesir. Pasukan Salib yang dipimpin oleh King Almeric I Raja Yerussalem menerima baik permintaan itu. Maka terjadilah pertempuran antara pasukan Asaduddin dengan King Almeric I yang berakhir dengan kekalahan Asaduddin. Setelah menerima syarat-syarat damai dari kaum Salib, panglima Asaduddin dan Shalahuddin dibenarkan kembali ke Damaskus.
Kerjasama Shawar dengan orang kafir itu telah menimbulkan kemarahan Emir Nuruddin Mahmud dan para pemimpin Islam lainnya termasuk Baghdad. Lalu dipersiapkanlah tentara yang besar yang tetap dipimpin oleh panglima Syirkuh dan Shalahuddin Al-Ayyubi untuk menghukum si pengkhianat Shawar. King Almeric I terburu-buru menyiapkan pasukannya untuk melindungi Wazir Shawar setelah mendengar kemarahan pasukan Islam. Akan tetapi Panglima Syirkuh kali ini bertindak lebih tepat dan berhasil membinasakan pasukan King Almeric I dan menghalaunya dari bumi Mesir dengan aib sekali.
Panglima Syirkuh dan Shalahuddin terus maju ke ibu kota Kaherah dan mendapat tantangan dari pasukan Wazir Shawar. Akan tetapi pasukan Shawar hanya dapat bertahan sebentar saja, dia sendiri melarikan diri dan bersembunyi. Wazir Besar Shawar lari dan bersembunyi di sebuah pekuburan. Ia berhasil ditemukan oleh Shalahuddin, kemudian ia ditangkap dan dibawa ke istana serta dihukum mati.
Serbuan Syirkuh yang gagah berani serta kemenangan akhir yang direbutnya atas gabungan Tentara Salib Perancis dari Yerussalem dan tentara Mesir itu memperlihatkan kehebatan strategi tentara yang bernilai ringgi.
Ibnu Aziz al-Athir menulis tentang serbuan panglima Syirkuh ini sebagai berikut: "Belum pernah sejarah mencatat suatu peristiwa yang lebih dahsyat dari penghancuran tentara gabungan Mesir dan Perancis dari pantai Mesir, oleh hanya seribu pasukan berkuda".
Pada tanggal 8 Januari 1169 M Syirkuh sampai di Kairo dan Khalifah Fathimiyah Al-Adhid melantik panglima Asaduddin Syirkuh menjadi Wazir Besar menggantikan Shawar. Wazir baru itu segera melakukan perbaikan dan pembersihan setiap institusi kerajaan secara berperingkat. Sementara anak saudaranya, panglima Shalahuddin al-Ayyubi diperintahkan membawa pasukannya mengadakan pembersihan di kota-kota sepanjang Sungai Nil hingga Assuan di sebelah Utara dan bandar-bandar lain termasuk bandar perdagangan Iskandariah. Tetapi sayang, Syirkuh tidak ditakdirkan untuk lama menikmati hasil perjuangannya.
Dua bulan setelah pengangkatannya itu, dia berpulang ke rahmatullah. Sepeninggal Syirkuh, keponakannya Shalahuddin al-Ayyubi pada tahun 1169 diangkat menjadi Perdana Menteri Mesir (Wazir) dengan mendapat persetujuan pembesar-pembesar Kurdi dan Saljuk Irak. Walaupun berkhidmat di bawah Khalifah Daulat Fathimiyah, Shalahuddin tetap menganggap Emir Nuruddin Mahmud sebagai pemimpinnya. Tidak begitu lama ia telah disenangi oleh rakyat Mesir karena sifat-sifatnya yang pemurah dan adil bijaksana.
Pada tahun itu pula Shalahuddin menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem King Almeric I dan Tentara Templarnya yang bersekutu dengan Byzantium. Pada awalnya kedudukan beliau cukup sulit, sedikit sekali orang yang optimis bahwa ia akan bertahan lama di Mesir mengingat dalam beberapa tahun terakhir telah banyak terjadi pergantian kekuasaan disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Khalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Syiria, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi’ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-‘Adhid. Namun Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib King Almeric I dan pasukan Romawi Byzantium yang melancarkan invasi terhadap Mesir.
Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Setelah Khalifah Al-’Adhid, Khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Shalahuddin al-Ayyubi.
Ketika sang Khalifah meninggal bulan September 1171 M / 567 H, Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Dinasty Fatimiyah di Mesir. Beliau menutup riwayat Khilafah Fatimiyah Syi’iyah itu dan mengembalikan Mesir kepada Ahlussunnah. Beliau saat itu secara resmi bertindak sebagai wakil dari Nuruddin Mahmud Penguasa Syiria, yang berada dibawah Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Maka doa untuk Khalifah Al-Adhid pada khutbah Jumat hari itu ditukar kepada doa untuk Khalifah Al-Mustadhi dari Daulat Abbasiyah. Setelah menjadi pemimpin Mesir Shalahuddin merevitalisasi perekonomian Mesir, mengorganisir ulang kekuatan militer, dan mengikuti nasihat ayahnya untuk menghindari konflik apapun dengan Nuruddin, pemimpinnya yang resmi.
Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Daulat Fatimyah yang dikuasai oleh kaum Syi’ah selama 270 tahun. Keadaan ini memang telah lama ditunggu-tunggu oleh golongan Ahlussunnah di seluruh negara Islam, lebih-lebih lagi di Mesir sendiri, setelah Wazir Besar Shawar berkomplot dengan Kaum Salib musuh Islam. Pengembalian kekuasaan kepada golongan Sunni itu telah disambut meriah di seluruh wilayah-wilayah Islam, terutama di Baghdad dan Syiria atas restu Khalifah Al-Mustadhi dan Emir Nuruddin Mahmud.
Mereka sangat berterima kasih kepada Panglima Shalahuddin Al-Ayyubi yang dengan kebijaksanaan dan kepintarannya telah menukar suasana itu secara aman dan damai. Serentak dengan itu pula, Wazir Besar Shalahuddin al-Ayyubi meresmikan Universitas Al-Azhar yang selama ini dikenal sebagai pusat pendidikan Syi’ah menjadi pusat pendidikan Ahlussunnah Wal Jamaah. Semoga Allah membalas jasa-jasa Shalahuddin.
Pada tahun 1174 Amelric I meninggal dunia dengan mewariskan tahta Kerajaan Yerusalem kepada putranya yang baru berusia 13 tahun, Baldwin IV yang menderita penyakit lepra. Walaupun demikian, ia adalah seorang pimpinan militer yang aktif dan efektif. Di tahun yang sama (659 H/1174 M) Nuruddin Mahmud penguasa Saljuk di Syiria yang termasyhur itu juga meninggal dunia dan digantikan oleh putranya yang berumur 11 tahun bernama Malikus Saleh.
Sultan muda ini diperalat oleh pejabat tinggi yang mengelilinginya, terutama seorang wali yang bernama Gumushtagin. Dibawah seorang wali terjadilah perebutan kekuasaan diantara putra-putra Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin mengirimkan utusan kepada Malikus Saleh dengan menawarkan jasa baktinya dan ketaatannya.
Shalahuddin bahkan melanjutkan untuk menyebutkan nama raja itu dalam khotbah-khotbah Jum’at dan mata uangnya. Tetapi segala macam bentuk perhatian ini tidak mendapat tanggapan dari raja muda itu berserta segenap pejabat di sekelilingnya yang penuh ambisi. Shalahuddin al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin al-Ayyubi melawan dan menghancurkan mereka.
Selanjutnya Shalahuddin menyerahkan kekuasaan di Syiria kepada Malikus Saleh dan memproklamasikan kemerdekaan Mesir dari Kesultanan Saljuk serta menyatakan diri sebagai sultan untuk wilayah Mesir pada tahun 571 H/1176 M. Beliau melakukan beberapa tindakan militer yang serius, diantaranya menaklukkan wilayah Muslim yang lebih kecil, lalu mengarahkan mereka melawan para Prajurit Salib.
Sementara itu suasana yang tidak menentu dan kelemahan Malikus Saleh memberi angin kepada Tentara Salib Perancis dar Yerussalem untuk menyerang Damaskus yang selama ini dapat ditahan oleh Nuruddin Mahmud dan panglimanya yang gagah berani, Jenderal Syirkuh. Atas nasihat Gumushtagin, Malikus Saleh mengundurkan diri ke kota Aleppo, dengan meninggalkan Damaskus diserbu oleh tentara Perancis dibawah pimpinan Baldwin IV.
Tentara Salib dengan segera menduduki ibukota kerajaan itu, dan hanya bersedia untuk meninggalkan kota itu setelah menerima uang tebusan yang sangat besar. Peristiwa itu menimbulkan amarah Shalahuddin al-Ayyubi yang segera datang ke Damaskus dengan sebuah pasukan yang kecil dan merebut kembali kota itu.
Setelah berhasil menduduki Damaskus ia tidak terus memasuki istana rajanya Nuruddin Mahmud, melainkan bertempat di rumah orang tuanya. Umat Islam sebaliknya sangat kecewa akan tingkah laku Malikus Saleh, dan mengajukan tuntutan kepada Shalahuddin untuk memerintah daerah mereka. Tetapi Shalahuddin hanya mau memerintah atas nama raja muda Malikus Saleh. Ketika Malikus Saleh meninggal dunia pada tahun 1182 Masehi, kekuasaan Shalahuddin telah diakui oleh semua raja-raja di Asia Barat.
Shalahuddin menyatukan Syria dengan Mesir dan membangun Dinasty Al-Ayyubiyah dengan beliau sendiri sebagai sultannya yang pertama. Tidak lama kemudian, Sultan Shalahuddin dapat menggabungkan negeri-negeri An-Nubah, Sudan, Yaman, Maghrib, Mousul dan Hijaz ke dalam kekuasaannya yang besar. Negara di Afrika yang telah diduduki oleh Laskar Salib dari Normandia juga telah dapat direbutnya dalam masa yang singkat. Dengan ini kekuasaan Shalahuddin telah cukup besar dan kekuatan tentaranya cukup banyak untuk mengusir tentara Kristen yang menduduki Baitul Maqdis berpuluh tahun.
Merebut Kota Yerussalem
Sekarang Shalahuddin menghadapkan perhatian sepenuhnya terhadap kota Yerussalem yang diduduki Pasukan Salib Templar dengan kekuatan melebihi enam puluh ribu prajurit. Siasat yang mula-mula dijalankannya adalah mengajak Tentara Salib Templar untuk berdamai. Pada lahirnya, Kaum Salib mengira bahwa Shalahuddin telah menyerah kalah, lalu mereka menerima perdamaian ini dengan sombong.
Sultan sudah menyangka bahwa orang-orang Kristen itu akan mengkhianati perjanjian, maka hal ini akan menjadi alasan bagi beliau untuk melancarkan serangan. Untuk itu, beliau telah membuat persiapan secukupnya. Menurut ahli sejarah Perancis Michaud: "Kaum Muslimin memegang teguh perjanjiannya, sedangkan golongan Nasrani memberi isyarat untuk memulai lagi peperangan."
Ternyata dugaan Sultan Shalahuddin tidak meleset, baru sebentar perjanjian ditandatangani, Kaum Salib telah mengadakan pelanggaran. Penguasa Nasrani Renanud atau Count Rainald de Chatillon penguasa Benteng Akkra menyerang suatu kafilah Muslim yang lewat di dekat istananya, membunuh sejumlah anggotanya dan merampas harta bendanya.
Maka Sultan Shalahuddin, segera bergerak melancarkan serangan kepada Pasukan Salib yang dipimpin oleh Count Rainald de Chatillon dan Baldwin IV Raja Yerussalem, tapi kali ini masih gagal dan beliau sendiri hampir tertawan. Perang ini terkenal dengan nama Battle of Montgisard yang terjadi pada tahun 1177. Beliau mengadakan gencatan senjata dan kembali ke markasnya serta menyusun kekuatan yang lebih besar.
Suatu kejadian yang mengejutkan Sultan adalah Count Rainald de Chatillon yang bergerak dengan pasukannya untuk menyerang kota Suci Makkah dan Madinah. Akan tetapi pasukan ini hancur binasa digempur mujahid Islam di laut Merah dan Count Rainald dan sisa pasukannya kembali ke Yerussalem. Dalam perjalanan, mereka berjumpa dengan satu iring-iringan kafilah kaum Muslimin yang didalamnya terdapat seorang saudara perempuan Sultan Shalahuddin. Tanpa berpikir panjang, Count Rainald dan prajuritnya menyerang kafilah tersebut dan menawan mereka, termasuk saudara perempuan Shalahuddin.
Dengan angkuh Count Rainald berkata: “Apakah Muhammad, Nabi mereka itu mampu datang untuk menyelamatkan mereka?”. Seorang anggota kafilah yang dapat meloloskan diri terus lari dan melapor kepada Sultan Shalahuddin tetang apa yang telah terjadi. Sultan sangat marah terhadap pengkhiatan gencatan senjata itu dan mengirim perutusan ke Yerussalem agar semua tawanan dibebaskan. Tapi mereka tidak memberikan jawaban. Buntut kejadian ini, Sultan keluar membawa pasukannya untuk menghukum kaum salib yang sering mengkhianati janji itu dengan mengepung kota Tiberias. Maka terjadilah pertempuran yang sangat besar di gunung Hittin sehingga dikenal dengan Perang Hittin. Pasukan Salib dipimpin oleh Rainald de Chatillon dan Raja Guy de Lusignan, Raja Yerussalem sesudah kematian Baldwin IV (1185).
Dalam pertempuran ini Tentara Salib Templar yang berjumlah 45.000 orang ini tidak sanggup menahan serbuan pasukan Sultan Shalahuddin dan menyerah pada tahun 1187. Seluruh Pasukan Salib hancur binasa dan hanya tinggal beberapa ribu saja yang sebagian besarnya menjadi tawanan termasuk Count Rainald de Chatillon sendiri. Pasukan Salib yang tertawan diperlakukan dengan sangat baik oleh Shalahuddin.
Sikap penuh perikemanusiaan Sultan Shalahuddin dalam memperlakukan Tentara Nasrani itu merupakan suatu gambaran yang berbeda seperti langit dan bumi, dengan perlakuan dan pembunuhan secara besar-besaran yang dialami kaum Muslimin ketika dikalahkan oleh Tentara Salib sekitar satu abad sebelumnya.
Setelah pertempuran ini, dua pemimpin Tentara Salib, Count Rainald de Chatillon yang telah menawan saudara perempuan Sultan dan mengejek Nabi Muhammad, dan Guy de Lusignan dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Rainald de Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam dan penghinaannya kepada Nabi Muhammad. Namun beliau membiarkan Guy de Lusignan pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Kekalahan tentara salib ini berdampak besar terhadap kekuatan tentara Islam. Sebaliknya, tentara salib semakin lemah, karena yang ditawan bukan saja prajurit biasa, melainkan juga panglima-panglimanya, Guy dan Reginald. Oleh karena itu, penaklukkan kota-kota lainnya, seperti benteng Tabariyyah, Akkra, Al-Nasiriyyah, Qisariyah, Haifa, Saida, dan Beirut dilakukan dengan mudah, dan merupakan kulminasi atau puncak reputasi Salahuddin yang makin ditakuti oleh pihak salib
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerussalem untuk perjalanan mi’rajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan mengepungnya selama empat puluh hari. Hal ini membuat penduduk di dalam kota itu tidak dapat berbuat apa-apa dan kekurangan makanan. Waktu itu Yerussalem dipenuhi dengan kaum pelarian dan orang-orang yang selamat dalam Perang Hittin. Tentara pertahanannya sendiri tidak kurang dari 60.000 orang yang terdiri dari Kesatria Templar.
0 komentar:
Posting Komentar