Ada beberapa amalan yang dianjurkan untu dikerjakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini, antara lain:
1. Melaksanakan ibadah haji dan umrah. Amal ini
adalah
yang paling utama, berdasarkan berbagai hadits shahih yang menunjukkan
keutamaannya, antara lain sabda Nabi shallallahu alaihi wasalam:
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Antara satu umrah sampai umrah berikutnya adalah penghapus (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali Surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Shadaqah bin Yasaaar mengatakan: Saya mendengar Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata: “Umrah pada 10 hari awal dzulhijjah lebih saya cintai daripada umrah di 10 hari yang lain.” Kemudian saya ceritakan kepada Nafi’ tentang hal ini, lalu beliaupun berkata: “Ya, umrah yang di dalamnya ada hadyu (menyembelih binatang sembelihan) atau puasa, lebih lebih saya sukai daripada umrah yang tidak ada hadyu atau puasa.”
Abu Ma’n berkata: “Saya melihat Jabir bin Zaid dan Abul ‘Aliyah mengerjakan umrah pada 10 hari awal dzulhijjah.”
Bagi jamaah haji Indonesia program regular, yang berangkat pada kloter-kloter (kelompok terbang) akhir di gelombang pertama dan gelombang kedua, serta sebagian jamaah haji khusus (ONH plus), berkesempatan melaksanakan umrah untuk haji tamattu’nya pada awal bulan Dzulhijjah. Karena mereka masuk ke Mekah antara tanggal 1 sampai 4 Dzulhijjah. Sehingga umrah dan hajinya dilaksanakan di bulan Dzulhijjah.
2. Berpuasa selama hari-hari tersebut (antara tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah), atau pada sebagiannya terutama pada hari Arafah (9 Dzulhijjah). Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadits qudsi:
الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
“Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151)
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153).
Adapun dalil yang menunjukkan keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, bahwa salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Ahmad no. 22334, Abu Daud no. 2437 dan Baihaqi 4/284-285. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan diantara shahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari pertama bulan Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. (Lathaa-iful Ma’aarif, 289).
Abdullah bin ‘Aun menceritakan bahwa Imam Muhammad bin Sirin dahulu puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah.
Laits bin Abi Sulaim mengatakan bahwa Imam Mujahid biasa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah.
Isa bin Ali bin Abdillah bin Abbas (cucu dari Ibnu Abbas, shahabat yang meriwayatkan hadits di atas) juga biasa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah.
Sedangkan keutamaan puasa hari Arafah, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Qatadah rahimahullah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَه وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim, no. 1162).
Ada yang menyebutkan bahwa terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Jauzy (Al Maudlu’at 2/198), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dlaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih di atas maka diperbolehkan. (Disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hussamuddin ‘Affaanah).
Pada hari-hari ini juga boleh digunakan untuk mengqadla puasa Ramadlan, bagi yang masih punya hutang puasa Ramadlan.
Umar bin Khaththab berkata:
لا بأس بقضاء رمضان في العشر.
“Tidak mengapa meng-qadla puasa Ramadlan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijah.”
Imam Hasan al Bashri tidak menyukai puasa sunnah padahal masih ada tanggungan puasa Ramadlan, kecuali jika dikerjakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijah.
3. Takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj [22]: 28).
Para ahli tafsir menafsirkan ‘hari-hari yang telah ditentukan’ dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar rahimahullah: “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid.” (HR Ahmad 6154, Syu’aib al Arnauth mengatakan: Ini hadits shahih).
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya.
Tsabit al Bunani menceritakan bahwa orang-orang mengumandangkan takbir pada 10 hari pertama tersebut.
Dan Ishaq rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha’ tabi’in bahwa pada hari-hari ini mereka mengucapkan:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allahu Akbar . . . Allahu Akbar . . . Laa Ilaaha Illallah . . .Wallahu Akbar . . . Allahu Akbar . . Walillahil Hamd.
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah.”
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya sebagaimana firman Allah:
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu…”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Imam Mujahid pernah mendengar seseorang bertakbir pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Kemudian beliau berkata: “Mengapa tidak mengeraskan takbirnya?” Kemudian orang tersebut mengeraskan takbirnya di masjid. Maka orang-orang di masjid juga bertakbir sehingga gema takbir menggetarkan masjid. Kemudian suaranya terdengar sampai orang-orang yang berada di lembah bahkan sampai terdengan ke penduduk Abthah. Kemudian penduduk Abthah juga mengumandangkan takbir sehingga membahana di wilayah tersebut. Semua takbir tersebut asalnya adalah dari satu orang.
Masing-masing orang bisa bertakbir sendiri-sendiri.
Diriwayatkan dari Imam Mujahid bahwa beliau tidak menyukai membaca al Qur’an saat thawaf di 10 hari awal bulan Dzulhijjah. Beliau lebih menyukai wasbih, tahlil dan takbir. Beliau berpendapat tidak mengapa membaca al Qur’an sebelum atau sesudah 10 hari awal bulan Dzulhijjah.
Boleh berdzikir dengan yang mudah dilakukan. Seperti: tasbih, tahmid, istighfar dan do’a-do’a lainnya yang disyariatkan.
4. Bertaubat serta meninggalkan segala maksiat dan dosa, sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللهُ
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari 4822 dan Muslim 2761).
Taubat adalah kembali kepada Allah Ta’aalaa dan meninggalkan apa saja yang dibenci-Nya yang nampak maupun yang tersembunyi sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan beristiqamah di atas kebenaran dengan melaksanakan apa-apa yang dicintai oleh Allah Ta’aalaa.
5. Memperbanyak beramal shalih, berupa ibadah sunnah seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur’an, amar ma`ruf – nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
6. Disyariatkan pada hari-hari itu takbir mutlak (tidak terikat waktu), yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai menjelang maghrib pada tanggal 13 Dzulhijjah. Disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah; bagi selain jama’ah haji dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada akhir hari Tasyriq. (Ini pendapat Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin). Pendapat lain menyatakan bahwa Takbir muqayyad (yang terikat waktu) dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Maka berjumlah 23 shalat. (al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 5/40).
Perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap waktu (pagi, siang sore atau malam), sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai berakhirnya hari-hari tasyriq. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- ‘Utsaimin no. 5831).
7. Berkurban pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq. Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim alaihissalam yakni ketika Allah Ta’aalaa menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa
أَنَّ النَّبِيَّ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.” (HR. Bukhari 5565 Muslim 1966).
8. Tidak mencabut atau memotong rambut dan kuku bagi orang yang hendak berkurban. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 1977) dan lainnya, dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”
Dalam riwayat lain:
فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ
“Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban.”
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang membawa hewan kurbannya.
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“… dan jangan kamu mencukur (rambut) kepala-mu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya …”. (QS. Al-Baqarah [2]: 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk isteri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.
9. Melaksanakan shalat Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya, yang mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari.
10. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kasih sayang Allah agar mendapat ridha-Nya.
Beberapa ulama terdahulu mengisi sebagian waktu mereka dengan mengajar. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin az Zubair radliyallahu ‘anhuma. Beliau mengajarkan tentang haji antara zhuhur sampai ashar.
Ada yang mengisi dengan i’tikaf (memperbanyak ibadah di masjid). Al Hafidz Ibnu ‘Asakir ber-i’tikaf pada bulan Ramadhan dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.
Semoga Allah melimpahkan taufikNya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya. (Disarikan dari makalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dengan beberapa penambahan dan pengurangan).
الْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمْرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا، وَالْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ.
“Antara satu umrah sampai umrah berikutnya adalah penghapus (dosa-dosa yang dikerjakan) di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali Surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349).
Shadaqah bin Yasaaar mengatakan: Saya mendengar Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma berkata: “Umrah pada 10 hari awal dzulhijjah lebih saya cintai daripada umrah di 10 hari yang lain.” Kemudian saya ceritakan kepada Nafi’ tentang hal ini, lalu beliaupun berkata: “Ya, umrah yang di dalamnya ada hadyu (menyembelih binatang sembelihan) atau puasa, lebih lebih saya sukai daripada umrah yang tidak ada hadyu atau puasa.”
Abu Ma’n berkata: “Saya melihat Jabir bin Zaid dan Abul ‘Aliyah mengerjakan umrah pada 10 hari awal dzulhijjah.”
Bagi jamaah haji Indonesia program regular, yang berangkat pada kloter-kloter (kelompok terbang) akhir di gelombang pertama dan gelombang kedua, serta sebagian jamaah haji khusus (ONH plus), berkesempatan melaksanakan umrah untuk haji tamattu’nya pada awal bulan Dzulhijjah. Karena mereka masuk ke Mekah antara tanggal 1 sampai 4 Dzulhijjah. Sehingga umrah dan hajinya dilaksanakan di bulan Dzulhijjah.
2. Berpuasa selama hari-hari tersebut (antara tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah), atau pada sebagiannya terutama pada hari Arafah (9 Dzulhijjah). Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadits qudsi:
الصَّوْمُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَأَكْلَهُ وَشُرْبَهُ مِنْ أَجْلِي
“Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena Aku.” (HR. Bukhari no. 7492 dan Muslim no. 1151)
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasalam bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 2840 dan Muslim no. 1153).
Adapun dalil yang menunjukkan keutamaan puasa pada awal Dzulhijjah adalah hadits dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, bahwa salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, …” (HR. Ahmad no. 22334, Abu Daud no. 2437 dan Baihaqi 4/284-285. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Imam Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan diantara shahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari pertama bulan Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. (Lathaa-iful Ma’aarif, 289).
Abdullah bin ‘Aun menceritakan bahwa Imam Muhammad bin Sirin dahulu puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah.
Laits bin Abi Sulaim mengatakan bahwa Imam Mujahid biasa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah.
Isa bin Ali bin Abdillah bin Abbas (cucu dari Ibnu Abbas, shahabat yang meriwayatkan hadits di atas) juga biasa berpuasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijah.
Sedangkan keutamaan puasa hari Arafah, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Qatadah rahimahullah bahwa Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِيْ قَبْلَه وَالسَّنَةَ الَّتِيْ بَعْدَهُ
“Berpuasa pada hari Arafah karena mengharap pahala dari Allah melebur dosa-dosa setahun sebelum dan sesudahnya.” (HR. Muslim, no. 1162).
Ada yang menyebutkan bahwa terdapat hadis yang menyatakan: “Orang yang berpuasa pada hari tarwiyah maka baginya pahala puasa satu tahun.” Namun hadis ini hadits palsu sebagaimana ditegaskan oleh Ibnul Jauzy (Al Maudlu’at 2/198), As Syaukani (Al Fawaidul Majmu’ah).
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzul Hijjah karena hadisnya dlaif. Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih di atas maka diperbolehkan. (Disarikan dari Fatwa Yas-aluunaka, Syaikh Hussamuddin ‘Affaanah).
Pada hari-hari ini juga boleh digunakan untuk mengqadla puasa Ramadlan, bagi yang masih punya hutang puasa Ramadlan.
Umar bin Khaththab berkata:
لا بأس بقضاء رمضان في العشر.
“Tidak mengapa meng-qadla puasa Ramadlan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijah.”
Imam Hasan al Bashri tidak menyukai puasa sunnah padahal masih ada tanggungan puasa Ramadlan, kecuali jika dikerjakan pada 10 hari pertama bulan Dzulhijah.
3. Takbir dan dzikir pada hari-hari tersebut. Sebagaimana firman Allah Ta’aalaa:
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ
“… dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan…” (QS. Al-Hajj [22]: 28).
Para ahli tafsir menafsirkan ‘hari-hari yang telah ditentukan’ dengan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Karena itu, para ulama menganjurkan untuk memperbanyak dzikir pada hari-hari tersebut, berdasarkan hadits dari Ibnu Umar rahimahullah: “Maka perbanyaklah pada hari-hari itu tahlil, takbir dan tahmid.” (HR Ahmad 6154, Syu’aib al Arnauth mengatakan: Ini hadits shahih).
Imam Bukhari rahimahullah menuturkan bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhuma keluar ke pasar pada sepuluh hari tersebut seraya mengumandangkan takbir lalu orang-orangpun mengikuti takbirnya.
Tsabit al Bunani menceritakan bahwa orang-orang mengumandangkan takbir pada 10 hari pertama tersebut.
Dan Ishaq rahimahullah, meriwayatkan dari fuqaha’ tabi’in bahwa pada hari-hari ini mereka mengucapkan:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
Allahu Akbar . . . Allahu Akbar . . . Laa Ilaaha Illallah . . .Wallahu Akbar . . . Allahu Akbar . . Walillahil Hamd.
“Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada Ilah (Sembahan) Yang Haq selain Allah. Dan Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, segala puji hanya bagi Allah.”
Dianjurkan untuk mengeraskan suara dalam bertakbir ketika berada di pasar, rumah, jalan, masjid dan lain-lainnya sebagaimana firman Allah:
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu…”. (QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Imam Mujahid pernah mendengar seseorang bertakbir pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Kemudian beliau berkata: “Mengapa tidak mengeraskan takbirnya?” Kemudian orang tersebut mengeraskan takbirnya di masjid. Maka orang-orang di masjid juga bertakbir sehingga gema takbir menggetarkan masjid. Kemudian suaranya terdengar sampai orang-orang yang berada di lembah bahkan sampai terdengan ke penduduk Abthah. Kemudian penduduk Abthah juga mengumandangkan takbir sehingga membahana di wilayah tersebut. Semua takbir tersebut asalnya adalah dari satu orang.
Masing-masing orang bisa bertakbir sendiri-sendiri.
Diriwayatkan dari Imam Mujahid bahwa beliau tidak menyukai membaca al Qur’an saat thawaf di 10 hari awal bulan Dzulhijjah. Beliau lebih menyukai wasbih, tahlil dan takbir. Beliau berpendapat tidak mengapa membaca al Qur’an sebelum atau sesudah 10 hari awal bulan Dzulhijjah.
Boleh berdzikir dengan yang mudah dilakukan. Seperti: tasbih, tahmid, istighfar dan do’a-do’a lainnya yang disyariatkan.
4. Bertaubat serta meninggalkan segala maksiat dan dosa, sehingga akan mendapatkan ampunan dan rahmat. Maksiat adalah penyebab terjauhkan dan terusirnya hamba dari Allah, dan ketaatan adalah penyebab dekat dan cinta kasih Allah kepadanya.Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasalam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ، وَغَيْرَةُ اللهِ أَنْ يَأْتِيَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ اللهُ
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan kecemburuan Allah itu manakala seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah terhadapnya.” (HR. Bukhari 4822 dan Muslim 2761).
Taubat adalah kembali kepada Allah Ta’aalaa dan meninggalkan apa saja yang dibenci-Nya yang nampak maupun yang tersembunyi sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan seketika itu juga, bertekad untuk tidak mengulanginya, dan beristiqamah di atas kebenaran dengan melaksanakan apa-apa yang dicintai oleh Allah Ta’aalaa.
5. Memperbanyak beramal shalih, berupa ibadah sunnah seperti: shalat, sedekah, jihad, membaca Al-Qur’an, amar ma`ruf – nahi munkar dan lain sebagainya. Sebab amalan-amalan tersebut pada hari itu dilipatgandakan pahalanya. Bahkan amal ibadah yang tidak utama bila dilakukan pada hari itu akan menjadi lebih utama dan dicintai Allah daripada amal ibadah pada hari lainnya meskipun merupakan amal ibadah yang utama, sekalipun jihad yang merupakan amal ibadah yang amat utama, kecuali jihad orang yang tidak kembali dengan harta dan jiwanya.
6. Disyariatkan pada hari-hari itu takbir mutlak (tidak terikat waktu), yaitu pada setiap saat, siang ataupun malam sampai shalat Ied. Dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah sampai menjelang maghrib pada tanggal 13 Dzulhijjah. Disyariatkan pula takbir muqayyad, yaitu yang dilakukan setiap selesai shalat fardhu yang dilaksanakan dengan berjama’ah; bagi selain jama’ah haji dimulai dari sejak Zhuhur hari raya Qurban terus berlangsung hingga shalat Ashar pada akhir hari Tasyriq. (Ini pendapat Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin). Pendapat lain menyatakan bahwa Takbir muqayyad (yang terikat waktu) dimulai sejak setelah shalat subuh tanggal 9 Dzulhijjah sampai setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Maka berjumlah 23 shalat. (al Majmu’ Syarah Muhadzdzab 5/40).
Perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap waktu (pagi, siang sore atau malam), sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai berakhirnya hari-hari tasyriq. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- ‘Utsaimin no. 5831).
7. Berkurban pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq. Hal ini adalah sunnah Nabi Ibrahim alaihissalam yakni ketika Allah Ta’aalaa menebus putranya dengan sembelihan yang agung. Diriwayatkan bahwa
أَنَّ النَّبِيَّ ضَحَّى بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkurban dengan menyembelih dua ekor domba jantan berwarna putih dan bertanduk. Beliau sendiri yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah dan bertakbir, serta meletakkan kaki beliau di sisi tubuh domba itu.” (HR. Bukhari 5565 Muslim 1966).
8. Tidak mencabut atau memotong rambut dan kuku bagi orang yang hendak berkurban. Diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 1977) dan lainnya, dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِيْ الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kamu melihat hilal bulan Dzulhijjah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.”
Dalam riwayat lain:
فَلاَ يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ
“Maka janganlah ia mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sehingga ia berkurban.”
Hal ini, mungkin, untuk menyerupai orang yang menunaikan ibadah haji yang membawa hewan kurbannya.
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
“… dan jangan kamu mencukur (rambut) kepala-mu, sebelum kurban sampai di tempat penyembelihannya …”. (QS. Al-Baqarah [2]: 196].
Larangan ini, menurut zhahirnya, hanya dikhususkan bagi orang yang berkurban saja, tidak termasuk isteri dan anak-anaknya, kecuali jika masing-masing dari mereka berkurban. Dan diperbolehkan membasahi rambut serta menggosoknya, meskipun terdapat beberapa rambutnya yang rontok.
9. Melaksanakan shalat Idul Adha dan mendengarkan khutbahnya. Setiap muslim hendaknya memahami hikmah disyariatkannya hari raya ini. Hari ini adalah hari bersyukur dan beramal kebajikan. Maka janganlah dijadikan sebagai hari keangkuhan dan kesombongan; janganlah dijadikan kesempatan bermaksiat dan bergelimang dalam kemungkaran seperti: nyanyi-nyanyian, main judi, mabuk-mabukan dan sejenisnya, yang mana akan menyebabkan terhapusnya amal kebajikan yang dilakukannya selama sepuluh hari.
10. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, hendaknya setiap muslim dan muslimah mengisi hari-hari ini dengan melakukan ketaatan, dzikir dan syukur kepada Allah, melaksanakan segala kewajiban dan menjauhi segala larangan; memanfaatkan kesempatan ini dan berusaha memperoleh kasih sayang Allah agar mendapat ridha-Nya.
Beberapa ulama terdahulu mengisi sebagian waktu mereka dengan mengajar. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin az Zubair radliyallahu ‘anhuma. Beliau mengajarkan tentang haji antara zhuhur sampai ashar.
Ada yang mengisi dengan i’tikaf (memperbanyak ibadah di masjid). Al Hafidz Ibnu ‘Asakir ber-i’tikaf pada bulan Ramadhan dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.
Semoga Allah melimpahkan taufikNya dan menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Dan shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad, kepada keluarga dan para sahabatnya. (Disarikan dari makalah Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin dengan beberapa penambahan dan pengurangan).
0 komentar:
Posting Komentar