Seringkali kita menemukan seseorang atau suatu kelompok manusia yang sangat kuat dalam memegang suatu keyakinan atau sangat berkeyakinan bahwa pendapat syaikh Fulan adalah haq (benar), dan lain sebagainya. Sehingga membuat kita sangat sulit dan bingung atau bahkan terkecoh untuk membedakan antara seseorang itu adalah muta’ashib (bersikap ta’ashub) atau seseorang itu berdiri tegak di atas Al-Haq.
Kebalikan dari ta’ashub adalah kokoh di atas
kebenaran dan berpegang teguh padanya. Kadang-kadang makna keduanya
hampir sama, maka tidak bisa dibedakan kecuali dengan pandangan yang
jeli dan teliti. Kadang kala kedua peristilahan itu rancu, sehingga kita
lihat sebagian orang memuji ta’ashub dan beranggapan bahwa ta’ashub itu
menunjukkan kekuatan iman dan kekokohan aqidah. Sebaliknya kita lihat
pula sebagian orang mencela orang-orang yang berpegang teguh pada al-haq
dan menggelari mereka dengan gelar jumud dan ta’ashub. Yang benar,
keduanya mempunyai perbedaan yang sangat jauh, baik asal-usul timbulnya,
caranya dan hasilnya.
Tata cara orang-orang yang ta’ashub adalah membendung serta menghalang-halangi usaha-usaha mengetahui atau mendengarkan dalil atau membandingkan dalil yang digunakan oleh orang yang berbeda pendapat dengannya. Sedangkan tata cara orang yang berpegang teguh pada al-haq adalah al-munaqasyah al-hurr (kebebasan bertukar pikir) dan mendengarkan dalil dari orang yang menyelisihinya dengan lapang dada serta membantah lawan bicara dengan mengharapkan supaya orang yang berbeda pendapat dengannya mendapat petunjuk dan tidak menghendaki kekalahannya.
Buah dari ta’ashub adalah perselisihan dan perpecahan serta saling membenci. Sedangkan buah dari berpegang teguh kepada kebenaran adalah kebersatuan di atas al-haq dan kembalinya orang-orang yang bersalah kepada al-haq.
Penjelasan mengenai perbedaan yang besar antara istilah ats-tsabit ‘ala al-haq wa al-mutamasik bihi (orang yang kokoh di atas kebenaran dan berpegang teguh padanya) dengan al-muta’ashib (orang yang ta’ashub), bukanlah dimaksudkan untuk menilai orang per orang, tetapi hendaklah dengannya kita bisa mawas diri dan kemudian bertanya kepada diri sendiri apakah jalan kita sudah benar atau sesuai dengan syariat Islam yang sebenar-benarnya. Yaitu mengenal islam melalui dalil-dalilnya yang shohih atau kita mengaku berpegang teguh dalam jalan Islam tetapi pada kenyataannya berjalan di atas jalan oran-orang ahli bid’ah. Yakni dengan berta’ashub kepada seseorang tertentu (selain Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam) atau kelompok tertentu.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya). (QS: Al-A’raf: 3)
Dan firman-Nya pula, yang artinya: “Katakanlah: “Ta’atlah kepada Alloh dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Alloh) dengan terang.” (QS: An-Nuur: 54)
Dalam ayat ini Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesaksian pada orang-orang yang menaati Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bahwa Dia akan memberinya petunjuk. Sedang menurut kesesatan orang-orang muqallid/muta’ashib adalah bahwa orang-orang yang menaati Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bukanlah orang-orang yang diberi petunjuk, tetapi yang diberi petunjuk adalah orang-orang yang menyeleweng dari sabda-sabdanya dan membenci sunnah-sunnahnya dan berpaling kepada madzhab tertentu secara membabi buta atau pendapat golongan tertentu atau syaikh tertentu serta yang semacamnya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman, yang artinya: “Demikian Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) sebagian kisah umat yang telah lalu, dan sesungguhnya telah Kami berikan kepadamu dari sisi Kami suatu peringatan (al-qur’an). Barangsiapa berpaling darinya maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari kiamat. Mereka kekal di dalam keadaan itu. Dan amat buruklah dosa itu sebagai beban bagi mereka di hari kiamat,” (QS: Thaahaa: 99-101)
Dan juga dalam firman-Nya, yang artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat ?” Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Rabbnya. Dan sesungguhnya adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (QS: Thaahaa: 124-127)
Dan semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala merahmati al-Imam asy-Syafi’I yang telah mengatakan: “Kaum Muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang jelas baginya sunnah Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah boleh baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”
Hal ini karena tidak seorangpun yang ma’shum setelah meninggalnya Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Semua seperti dikatakan Imam Malik Rahimahulloh: “Tidak seorangpun setelah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam kecuali dapat diambil dan ditinggalkan ucapannya, selain Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.”
Bahkan tidak boleh bagi Kaum Muslimin untuk bersikap tawaqquf (berdiam diri dari menerima atau menolak). Tetapi harus menerimanya dengan penuh penerimaan (terhadap apa yang telah jelas datangnya dari Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam), hal mana tidak demikian itu terhadap yang lainnya. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “…. Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah …” (QS: Al Hasyr: 7)
sumber
0 komentar:
Posting Komentar